Arsip Bulanan: Oktober 2020

Beberapa Potret Koleksi Museum Maros

Di museum Maros, bukan hanya peninggalan berupa benda purba melainkan ada beberapa potret mengenai bangunan bersejarah Di Maros antara lain :

1. Pasanggrahan en Pradjoerits-Kazerne te Maros 1930

2. Benteng Valkenburg Maros 1930

3. Salah Satu Kampoeng di Maros Tahun 1929, Lokasi diperkirakan sekitar Jawi-Jawi Desa Minasa Baji Kecamatan Bantimurung Kab. Maros.

4. Maros Rivier Te Maros

5. De Brug Bij Maros

Traditional Clothing of Maros

Customary clothing of Bugis-Makassar Each traditional clothing has its own uniqueness and is worn on certain occasions, the shape and pattern are different, depending on the ethnicity, certain groups, and their respective regions. These clothes reflect the identity and pride of the wearer. The distinctive feature of the traditional clothes of the Bugis Makassar, South Sulawesi, is the eastern part, which is combined with the local styles of the local community. The traditional clothes of South Sulawesi are as follows:

1. Tutu shirt ‘
The traditional clothes of men in South Sulawesi are called Tutu ‘. At the top, a black coat at the top is called Jas Tutu ‘. The coat is combined with pants or paroci and sarong or lipa garusuk, as well as a headgear, in the form of a songkok. The long-sleeved Tutu ‘jacket has a collared neck and is attached with buttons made of gold or silver. As for the lipa garusuk or lipa sabbe fabrics, generally use striking colors, with characteristics of red and green. This style of clothing is a combination of traditional setemlat clothes with Islamic nuances. The Tutu ‘jacket is usually worn by men along with Songkok Pa’biring and Lipa’ Sabbe. Usually used when attending Bugis Makassar traditional ceremonies and as an ethnic identity. Songkok Pa’biringSongkok Pabiring is a traditional outfit for men in South Sulawesi which is usually worn together with a Tutu coat ‘when attending a Makassar Bugis traditional ceremony and also as an Ethnic Identity. Songkok Pabiring is made of woven rattan and silk thread in gold color. Lipa Sabbe / Sarong Lipa Sabbe is one of the traditional equipment of South Sulawesi which is usually worn with Tutu ‘suits for men and Bodo shirts for women. Lipa ‘Sabbe made from High Silk Fabric.

2. Baju Bodo

The traditional dress of women in South Sulawesi is called the Bodo shirt. The characteristic of the bodo shirt is that it is rectangular and has short sleeves. Some even say that the Bodo shirt is one of the oldest clothes in Indonesia, namely a sarong that covers the waist to the leg and a thin shirt that is bigger than the wearer or loose from Muslim cloth or gauze. The color of the bodo shirt has its own meaning, which shows how old it is. and the dignity of the wearer, namely as follows: Orange means that the wearer is a girl who is 10 years old. Orange and red means that the wearer is a girl who is around 10 to 14 years old. Red means that the user is a child. women who are around 17 to 25 years old. White means that the wearer is a woman from the maid and shaman. Green means that the wearer is a woman from the aristocracy. Purple means that the wearer is a widow. Bodo dress is one of the traditional clothing that is usually worn by the women of the Bugis Makassar tribe at the time of the up traditional events as well as ethnic identity.

However, currently the use of Baju Bodo is rarely found. Even so, this outfit is still used by the bride at the wedding reception. Even the bridesmaids, who are usually children, are called passappi ‘and the reception committee still wears bodily clothes. Traditional Dress for the Bride and Groom Like every region in general, the Bugis-Makassar tribe also has traditional bridal clothing which characterizes and identifies the tribe. The traditional clothes of the Bugis-Makassar tribe of brides have many similarities in the clothes of men and women, the difference is only in the accessories, where the traditional dress of the bride and groom is more than that of the men. The explanation of the traditional bridal clothing equipment of South Sulawesi is as follows:

  1. Saloko Pinang Goyang Saloko Pinang Goyang is one part of the bride’s outfit which is a complementary head accessory. Saloko Pinang is usually also known as the Crown of Women which is usually used in traditional ceremonies and as an ethnic identity.

Baju Adat Suku Bugis-Makassar

Baju Ada Sulawesi Selatan

Pakaian Adat Bugis-MakassarTiap pakaian adat memiliki keunikan masing-masing dan dikenakan pada acara tertentu, bentuk dan coraknya pun berbeda, tergantung etnis, kelomok tertentu, dan wilayahnya masing-masing.Pakaian tersebut mencerminkan identitas dan kebanggan-kebanggan tersendiru bagai pemakainya. Ciri khas pakaian Adat Bugis Makassar Sulawesi Selatan adalah ketimur-timuran yang dipadukan dengan corak khas lokal masyarakat setempat. Adapun pakaian adat Sulawesi Selatan adalah sebagai berikut :

  1. Baju Tutu’
    Pakaian adat laki-laki Sulawesi Selatan disebut dengan Tutu’. Pada bagian atas berupa jas hitam dibagian atas disebut dengan Jas Tutu’. Jas dipadukan dengan celana atau paroci dan kain sarung atau lipa garusuk, serta tutup kepala, berupa songkok. Jas Tutu’ berlengan panjang memiliki leher berkerah dan dipasangkan kancing yang terbuat dari emas atau perak. Sedangkan untuk kain lipa garusuk atau lipa sabbe pada umumnya menggunakan warna mencolok, dengan ciri khas merah dan hijau. Model pakaian ini merupakan kombinasi antara pakaian adat setemlat dengan nuansa Islam.Jas Tutu’ biasanya dikenakan oleh kaum pria bersama Songkok Pa’biring dan Lipa’ Sabbe. Biasanya dipakai pada saat menghadiri upacara adat istiadat Bugis Makassar dan Sebagai Identitas Etnis.
  2. Songkok Pa’biring
    Songkok, Pabiring adalah salah satu perlengkapan adat pria Sulawesi Selatan dimana biasanya dikenakan bersamaan dengan Jas Tutu’ pada saat menghadiri upacara adat Bugis Makassar dan juga sebagai Identitas Etnis. Songkok Pabiring terbuat dari Anyaman Rotan yang dab Benang Sutra Berwarna Emas.
  3. Lipa Sabbe / Sarung
    Lipa Sabbe adalah salah satu perlengkapan adat Sulawesi Selatan yang biasanya dikenakan bersama Jas Tutu’ bagi kaum pria dan Baju Bodo bagi kaum wanita. Lipa’ Sabbe berbahan dasar Kain Sutra Tinggi.
  4. Baju Bodo
    Baju Bodo pakaian adat perempuan Sulawesi Selatan dinamakan Baju Bodo. Ciri khas baju bodo adalah berbentuk segi empat dan memiliki lengan pendek. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Baju Bodo merupakan salah satu busana tertua di Indonesia, yaitu sehelai sarung yang cukup menutupi pinggang hingga kaki dan baju tipis yang lebih besar dari pemakai atau longgar dari kain muslim atau kasa Warna baju bodo memiliki arti tersendiri, yang menunjukkan berapa usia serta martabat dari pemakainya, yaitu sebagai berikut :

    1) Jingga, memiliki arti bahwa pemakai adalah anak perempuan yang berusia 10 tahun.
    2) Jingga dan Merah, memiliki arti bahwa pemakai adalah anak perempuan yang berusia sekitat 10 hingga 14 tahun.
    3) Merah, memiliki arti bahwa pemakai adalah anak perempuan yang berusia sekitar 17 sampai 25 tahun.
    4) Putih, memiliki arti bahwa pemakai adalah perempuan dari kalangan pembantu dan dukun.
    5) Hijau, memiliki arti bahwa pemakai adalah perempuan dari kalangan bangsawan.
    6) Ungu, memiliki arti bahwa pemakai adalah seorang janda.

    Baju bodo merupakan salah satu pakaian adat yang biasanya dikenakan oleh kaum wanita suku Bugis Makassar pada saat penyelenggaraan upacara adat serta sebagai identitas Etnis. Namun, saat ini penggunaan baju bodo sudah jarang ditemukan. Meskipun demikian pakaian ini tetap digunakan oleh mempelai perempuan dalam resepsi pernikahan. Bahkan pendamping mempelai yang biasanya anak-anak, disebut passappi’ serta panitia resepsi tetap memakai baju bodo.
  5. Pakaian Adat Pengantin Pria dan Wanita
    Seperti setiap daerah pada umumnya, suku Bugis-Makassar juga mempunyai pakaian adat pengantin yang menjadi ciri khas dan identitas sukunya. Pakaian adat pengantin suku Bugis-Makassar mempunyai banyak kesamaan pada pakaian kaum pria dan wanita, perbedaannya hanya terletak pada aksesoris saja dimana oajauab adat pengantin wanita lebih banyak daripada pria. Penjelasan perlengkapan pakaian adat pengantin Sulawesi Selatan adalah sebagai berikut :
    1) Saloko Pinang Goyang
    Saloko Pinang Goyang adalah salah satu bagian dari perlengkapan pakaian pengantin wanita yang merupakan aksesoris kepala pelengkap. SalokoPinang ini biasanya juga dikenal dengan Mahkota Wanita yang biasanya digunakan pada upacara adat dan sebagai identitas Etnis.
    2) Gelang/Ponto Naga
    Gelang/Ponto Naga ini merupakan aksesoris pakaian pernikahan pria dimana terbuat dari logam kuningan yang diukir menyerupai bentuk naga.
    3) Ponto/Gelang
    Ponto/ Gelang merupakan salah satu aksesoris bagi mempelai wanita dimana gelang ini terbuat dari ligam kuningan yang berventuk tabung dengan diameter 6cm.
    4) Rante/Kalung
    Rante/ Kalung juga merupakan salah satu aksesoris mempelai wanita yang tervuat dari logam kuningan.
    5) Simpolong Teppong
    Simpolong Teppong atau biasa dikenal dengan Kondek adalah aksesoris tambahan yang dikenakan oleh mempelai wanita dibagian belakamg rambutnya.
    6) Sima-Sima
    Sima- sima adalah aksesoris yang dikenakan pada bagian lengan wanita tepatmya diujung lengan bajunya. Sima-sima terbuat dari kain yang diukir dan diberi renda pada pinggirannya.
    7) Salempang
    Salempang adalah aksesoris pengantin yang dikenakan oleh mempelai wanita maupun pria. Seperti selempang pada umunya, selempang ini di taruh d bagian pundak kemudian diberi pengait d bagian pinggang atau perekat agar tertata dengan baik dan tidak mudah jatuh.
    8) Giwang/Anting-Anting
    Giwang atau Anting-anting merupakan bagian dari perlengkapan mempelai wanita yang terbuat dari logam yang kemudian dihias.
  6. Perlengkapan Nyirih atau Mangngota
    Tradisi menyirih adalah tradisi warisan budaya Indonesia yang dilakukan dengan mengunyah bahan-bahan bersirih, seperti daun sirih, pinang, gambir, tembakau, kapur, dan cengkih. Tradisi ini dilakukan dengan mengunyah sirih dan bahan lainnya hingga membuat mulut berwarna oranye kemerahan yang dianggap bagus untuk menguatkan gigi. Banyak daerah di Indonesia yang hingga kini masih mempertahankan kebiasaan tersebut. Tiap daerah menyebut istilah mengunyah sirih ini dalam bahasa daerahnya, seperti nyirih, nginang, bersisik, atau menyepah. Bagi yang pernah mengunjungi pelosok negeri Sumatra, Sulawesi, ataupun Indonesia bagian Timur, seperti Nusa Tenggara hingga Papua, pasti masih dapat ditemukan kebiasaan ini. Di Sulawesi Selatan, tradisi ini disebut dengan kegaiatan mangngota, adapun beberapa perlengkapan nyirih dikalangan suku Bugis-Makassar, yaitu;
    1) Tempat penyimpanan kapur sirih
    2) Tempat penyimpanan Gambir
    3) Tempat penyimpanan daun sirih
    4) Tempat penyimpanan tembakau
    Keempat tempat penyimpanan diatas terbuat dari logam yang diukir dan dibentuk dengan berbagai bentuk seperti lingkaran, dan lain-lain.

Writing an essay on culture can be a fascinating exploration of the beliefs and customs that define a particular group of people. However, if you do not have enough experience, it is better to seek help from professionals https://essaynow.net/ and get a quality paper in a matter of hours.

Mesolithic Household Appliances

Household appliances are one type of collection that is exhibited at the Maros Regional Museum. The existence of household tools indicates that humans are good at making tools to complement their lives. The materials used in household appliances are simple materials that can be found in nature, namely clay, pandanus leaves, andesite stones, bamboo rattan, and rope.

  1. Clay , Clay-based equipment produces several types of objects, such as earthenware, pottery and even ceramics. These three ingredients certainly have differences, namely:

• Pottery is a kitchen utensil (for cooking, etc.) made from baked clay (for example, jugs, pots)

• Pottery is divided into two definitions, namely articles made of clay which are burned and coated with a gloss: porcelain or shards (dishes, pots, etc.); shard; potsherd.

• Ceramics are clay that is burned, mixed with other minerals; pottery (porcelain).

Padjoge Danseressen Te Maros

Padjoge is a dance originating from South Sulawesi, both Bugis and Makassar. During the colonial period in Maros, there was also a Padjoge dance performed in aristocratic circles by girls who came from among the common people.

Padjoge dance is a folk dance that is shown at the King’s party and also for the public. Padjoge functions as entertainment and can also benefit from material / objects because the audience can get Mappasompa (Sawer) to one of the Padjoge they like. Usually the dancers also dance alone while singing then look for their partner, then the dancer gives betel leaves to the man they choose and they will dance together.

Fossils of a Ancient Human Skeletons at Maros

Famous for its cultural diversity and exotic tourism, Maros also has unique historical facts, namely about ancient humans.

Human skeletons in Maros were found in 2018 during archaeological excavations at the Leang Jarie Site, Maros Regency, South Sulawesi. This discovery was made by the prehistoric research team of the South Sulawesi Archaeological Center led by Budianto Hakim.

The results of C14 analysis at the University of Waikato Laboratory, New Zealand show that the human leang Jarie (LJ1) skeleton is 2700 BP (approximately 600 BC) and is considered the forerunner of the human ancestors of Moros and its surroundings who survived by utilizing lime gowa (karst). as a home and develop agriculture and livestock in addition to looking for food in the open by hunting.

The human skeleton is still well preserved in the original matrix in Leang Jarie, criticizing Simbang, Maros Regency.

History of Museum Maros

Maros Regional Museum occupies the building of the Controller Office area which was founded in 1835 by the Dutch for colonial interests in Maros. After independence, this building changed its function, starting to be used as the Office of the Head of the State Government of Maros, then used as a Maternity Hospital, then the Office of Bappeda Maros until it was used as the Office of the Head of the Turikale Sub-district.

The Maros Regional Museum building measures 266 M² and occupies an area of 1,370 M² located on Jalan Jenderal Ahmad Yani No. 1, Turikale Village, Turikalr District, Maros Regency. The condition of the building is 90% original from the colonial era with a rectangular shape that extends backwards. The Maros Regional Museum is made of bricks plastered with lime and sand. The floor is covered with Tegal and the upper part is covered with zinc.

The Maros Regency Government has designated this building as a Cultural Heritage so that the Maros Regional Museum Building is also one of the collections owned by the Maros Regional Museum.

The Structure of Building Landraad

The Maros Regency Museum Collection consists of structures, such as tiles, bricks, and plaster of the Landraad building. Based on the archives at the Maros District Court Office, the Landraad office building was built in 1918 which functions as a Court Office. This office is adjacent to Jalan Jenderal Ahmad Yani in the south, west bordering the Maros District Prosecutor’s Office, in the east adjacent to Jalan H.M Kasim, and in the north bordering the Chief Judge’s Office.

The bricks from the Landraad building structure which was built in 1928 which functioned as the Court’s Office are attached to the building pillar structure weighing 300 grams, 24 cm long, 5.5 cm thick and 11 cm wide. In addition there is also a brick attached to the wall structure of the building weighing 250 grams, 12 cm long, 5.5 cm thick and 11 cm wide. The next archaeological collection is the tile which is used as the roof of the building with a weight of 300 grams, 34 cm long, 1.7 cm thick and 27 cm wide. The last collection is plastering attached to the walls of the building weighing 1000 grams, 2.5 cm thick, consisting of sand, lime and cement.

Badik Bugis -Makassar

Badik yang merupakan identitas budaya suku bangsa melayu dan tersebar di seluruh Indonesia, termasuk di daerah Sulawesi Selatan. Badik merupakan senjata tradisional suku Bugis-Makassar. Selain itu, mereka percaya bahwa vadik dapqt mendatangkan kewibawaan dan penolong dalam situasi yg mendesak. Oleh karenanya, fungsinya bukan hanya sekedar senjata tajam, melainkan memiliki makna tersendiri bagi masyarakat suku Bugis-Makassar yang mempercayainya.

Panre Bassi adalah sebutan untuk orang berprofesi sebagai pandai besi di Bugis-Makassar. Badik atau Kawali umumnya dibuat oleh Panrita Bessi(semacam ahli besi) yang dalam proses pembuatannya diawali dengan pencariab bahan baku, lalu dilakukan pengisian magis melalui sejumlah proses ritual ketika membuat senjata tradisional tersebut.

Writing a history essay in English requires choosing the right topic and having experience in it, so many students hire essay writers here papertyper.net to get a high grade in college. This applies not only to the subject of history, but also to others.

Peralatan Rumah Tangga Zaman Mesolitikum

Peralatan Rumah Tangga

Peralatan rumah tangga merupakan salah satu jenis koleksi yang dipamerkan pada Museum Daerah Maros. Keberadaan alat rumah tangga menandakan bahwa manusia sudah pandai dalam membuat alat-alat untuk melengkapi kehidupan mereka. Bahan yang digunakan dalam peralatan rumah tangga adalah bahan yang sederhana yang dapat ditemukan di alam yaitu tanah liat, daun pandan, batu andesit, rotan bambu, dan tali.

1. Tanah Liat

Peralatan dengan bahan dasar tanah liat menghasilkan beberapa jenis benda, seperti gerabah, tembikar bahkan keramik. Ketiga bahan tersebut tentunya memiliki perbedaan yaitu:

• Gerabah adalah alat dapur (untuk memasak dan sebagainya) yang dibuat dari tanah liat yang dibakar (misalnya kendi, belanga)

• Tembikar terbagi atas dua definisi, yaitu barang dari tanah liat yang dibakar dan berlapis gilap: perselen atau pecahan (pinggan, periuk dan sebagainya); beling;  tembereng.

• Keramik adalah tanah liat yang dibakar, dicampur dengan mineral lain; barang tembikar (porselen).