Artefak Kapak Batu

Kapak Batu

Dari segi umur dan cara buat, koleksi artefak batu di Museum Daerah Maros yang dikumpulkan dari situs-situs prasejarah di Kabupaten Maros dapat dibagi menjadi dua bagian besar. Pertama adalah artefak batu serpih yang sebagian besar diperoleh dari gua-gua prasejarah yang berumur antara 4.000 tahun lalu hingga 10.000 tahun lalu yang dikategorikan sebagai hasil budaya Jaman Praneolitik. Kedua adalah artefak batu yang sebagian besar diperoleh dari situs-situs terbuka di kawasan Mallawa, berumur antara 2.000 tahun lalu hingga 4.000 tahun lalu yang dikategorikan sebagai Jaman Neolitik.

Secara umum, koleksi artefak batu serpih Museum Daerah Maros tergolong dalam fase budaya Praneolitik Maros. Artefak batu serpih Maros dibuat oleh para penghuni gua yang populer disebut sebagai komunitas Toala. Istilah ini diperkenalkan oleh Paul dan Fritz Sarasin dalam bukunya yang berjudul Reisen in Celebes (1905). Teknologi artefak batu serpih Toala merupakan satu-satunya inovasi teknologi alat batu di Asia Tenggara. Inovasi teknologi alat batu Toala terekspresikan pada alat batu yang spesifik bentuk dan fungsinya, seperti mata panah bergerigi (Maros point) dan mikrolit (microlith). Mata panah bergerigi dan artefak batu serpih Toala lainnya jelas menggambarkan fungsinya sebagai alat perburuan dan pengolah makanan. Tempat penemuan artefak batu serpih adalah di dalam gua dalam jumlah puluhan ribu, menggambarkan lamanya aktivitas hunian di dalam gua-gua pegunungan kapur Maros.

Maros point dan mikrolit dibuat dengan teknik yang sangat cermat dan detail dengan frekuensi peretusan yang tinggi. Teknologi alat batu Toala biasa disejajarkan dengan teknologi alat batu Levallois yang berkembang di Eropa pada masa yang sama. Maros point dan mikrolit jelas menggambarkan kemampuan teknik tinggi yang perencanaannya berawal dari bongkahan batu inti bulat. Bahan Maros point dan mikrolit adalah dari jenis batuan chert atau biasa juga disebut batu rijang. Jenis batuan ini dipilih karena mengandung silika (unsur kaca) yang tinggi sehingga mudah dibentuk dan menghasilkan alat batu yang tajam. Batuan rijang banyak dijumpai di dataran banjir sungai pada kawasan batu kapur Maros Pangkep (Duli & Nur, 2016). Secara garis besar, teknik yang digunakan komunitas Toala dalam membuat alat batu adalah teknik penyerpihan dan belum memperlihatkan indikasi pengasahan alat.

Koleksi artefak batu Museum Daerah Maros yang tergolong dari jaman Neolitik adalah kapak dan beliung. Semua koleksi kapak dan beliung Museum Daerah Maros berasal dari beberapa situs di Kecamatan Mallawa, seperti situs Bulu Bakung, Situs Bulu Tana Ugi dan Situs Bulu Uttangnge. Kapak dan beliung batu yang diperoleh dari situs-situs terbuka di Mallawa dibuat dengan menggunakan teknik penyerpihan pada tahap pembentukan dan menggunakan teknik pengasahan untuk memperoleh tajaman alat dan bentuk yang ideal pada tahap kedua. Perbedaan kapak dan beliung terletak pada bentuk bagian tajaman. Bentuk tajaman kapak adalah setangkup dengan bidang yang sama antara sisi kiri dan kanan, sedangkan bentuk tajaman beliung miring pada satu sisi tajaman saja atau menyerupai tajaman pahat. Berdasarkan informasi etnografis, kapak dan beliung sama-sama memakai gagang atau tangkai ketika digunakan. Posisi mata kapak pada gagangnya adalah sejajar sedangkan posisi mata beliung pada gagangnya adalah memotong 90 derajat.

Dari studi etnografi, fungsi kapak dan beliung dapat digunakan untuk mengolah kayu atau menebang pohon yang berukuran lingkar sekitar 50 cm. Jika dibandingkan dengan fungsi alat batu serpih dari jaman Praneolitik, terlihat bahwa penggunaan alat serpih jauh berbeda dengan penggunaan kapak dan beliung dari Jaman Neolitik. Kajian fungsi kapak dan beliung menggambarkan aktivitas yang berhubungan dengan pengolahan lahan pertanian seperti penebangan pohon untuk pembukaan lahan baru atau pengolahan batang pohon untuk dijadikan sebagai bahan rumah tinggal. Lokasi penemuan kapak dan beliung di Mallawa pada situs-situs padang terbuka merupakan bukti bahwa aktivitas hunian pada bentang lahan pertanian dimulai pada Jaman Neolitik. Analisis umur dari situs-situs dimana kapak dan beliung Mallawa diperoleh adalah antara 3.580 ±130 BP dan 2.710 ±170 BP (Bulbeck, 1996-1997; Simanjuntak, 2008) hingga 2.281 ± 46 BP (Hakim et al., 2009:45). Informasi penting terkait temuan kapak dan beliung dari Mallawa adalah ditemukan bersama fragmen tembikar dalam jumlah ribuan. Data tersebut menguatkan asumsi tentang fungsi situs-situs terbuka di Mallawa sebagai situs hunian Jaman Neolitik. Walaupun belum ditemukan bukti tulang manusia tetapi berdasarkan kajian regional, jenis manusia yang bermukim di situs-situs Neolitik Mallawa adalah ras Mongoloid yang menuturkan Bahasa Austronesia. Meskipun masih bersifat hipotetik, kuat dugaan bahwa manusia penghuni Situs Neolitik Mallawa merupakan leluhur langsung manusia penghuni Pulau Sulawesi sekarang, terutama Sulawesi Selatan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *