Sejarah Fragmen Gerabah

Fragmen Gerabah

Indonesia telah mengenal gerabah sejak masa bercocok tanam (neolitik), masa perundagian, masa Hindu-Budha, masa Islam, hingga masa sekarang. Bukti penggunaan gerabah di Indonesia dari masa neolitik terekam pada Situs-Situs Arkeologi di Indonesia. Peneliti memperkirakan gerabah mulai dikenal 2.500-1.500 tahun sebelum masehi, ketika tradisi bercocok tanam mulai muncul dan kebutuhan akan tempat penyimpanan mulai dirasakan penting. Penggunaan gerabah kemudian terus berlanjut hingga masa sesudahnya.

Gerabah merupakan merupakan istilah yang lebih umum digunakan di Indonesia untuk merujuk pada tembikar (earthenware) atau barang-barang yang terbuat dari tanah liat bakar. Gerabah adalah temuan penting untuk mengindikasikan permukiman masa lampau dan menggambarkan berbagai aspek kehidupan manusia untuk hidupnya sehari-hari, seperti tempat menyimpan makanan (baik dalam bentuk cair maupun padat), alat mengolah makanan, maupun keperluan lainnya. Pada perkembangannya gerabah tidak hanya memiliki fungsi kebutuhan keseharian tetapi juga fungsi religius. Wadah-wadah gerabah ditemukan di beberapa situs prasejarah sebagai tempat meletakkan jenasah atau tulang manusia pada sistem kubur tempayan. Beberapa gerabah juga ditemukan sebagai tempat untuk menyimpan bekal kubur. Teknik pembuatan gerabah yang dikenal sangatlah sederhana, yaitu dengan teknik tangan. Museum of London berusaha merekonstruksi teknik pembuatan gerabah berbentuk wadah pot pada masa prasejarah.

Pada masa perundagian, teknik pembuatan gerabah mengalami perkembangan dengan menggunakan teknik tatap pelandas dan roda putar lambat. Bentuk wadah yang banyak ditemukan pada masa prasejarah adalah tempayan, periuk, cawan. Gerabah yang ditemukan tersebut melambangkan cara hidup manusia pada masa itu.

Gerabah adalah salah satu benda hasil budaya yang seringkali ditemukan di berbagai situs arkeologi, baik dalam kegiatan survei maupun ekskavasi sebagai data arkeologi, termasuk pada salah satu situs di Sulawesi Selatan, yaitu Situs Neolitik Mallawa.

Situs Neolitik Mallawa terletak pada perbatasan dua kabupaten, yaitu Kabupaten Maros wilayah Desa Sabila Kecamatan Mallawa di sisi utara hingga barat dan Kabupaten Bone wilayah Desa Poleonro Kecamatan Libureng di sisi selatan hingga timur. Situs ini memiliki temuan yang bervariasi seperti alat batu berbagai bentuk dan fragmen gerabah.

Museum Daerah Maros memiliki koleksi fragmen gerabah yang berasal dari situs Neolitik Mallawa berjumlah 11 pecahan, yang dikelompokkan dalam koleksi arkeologi. Pecahan tersebut memang sedikit menyulitkan untuk dianalisis dari sisi bentuk, teknologi, dan konteks secara langsung dengan situs dan lingkungannya. Oleh karena itu, diperlukan kajian koleksi mendalam tentang berbagai jenis fragmen tersebut. Namun secara umum informasi terkait Situs Neolitik Mallawa telah ada sejak tahun 1994.

Banyak penelitian, baik ilmiah maupun terapan, yang dilakukan oleh lembaga pemerintah seperti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan, Balai Arkeologi Makassar, dan sebagainya. Selain penelitian untuk kepentingan riset dan pelestarian, Situs Neolitik Mallawa juga menjadi objek penelitian oleh mahasiswa jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin.

Adapun temuan Situs Neolitik Mallawa, berdasarkan hasil survey penyelamatan lanjutan Situs Neolitik Mallawa tahun 2012 dan 2013 oleh Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan adalah sebagai berikut:

  1. Alat batu. Hasil survey penyelamatan tahun 2012, Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan menemukan 1818 buah alat batu berupa alat serpih, kapak, beliung, batu inti, tatap pelandas, batu ike, dan batu asah.
  2. Gerabah. Hasil survey penyelamatan tahun 2012 dan 2013, Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan menemukan 559 fragmen gerabah berukuran kecil hingga sedang, berjumlah 559 buah. Motif hiasnya seperti garis (lurus, tegak, miring dan zig zag), lingkaran—bahkan ada yang sampai tembus dan tumpal. Bagian gerabah yang ditemukan seperti penutup, tepian, bibir, leher, badan, pegangan, kaki dan dasar. Kondisi permukaan terlihat beberapa diantaranya memiliki glasir dan patina. Sebaran fragmen gerabah hanya ditemukan di bagian utara dan selatan lereng serta di puncak Bulu Bakung. Fragmen gerabah yang dimiliki oleh Museum Daerah Maros hampir serupa dengan temuan fragmen gerabah yang diinventaris oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan.

Berdasarkan hasil penelitian Balai Arkeologi Makassar di Situs Neolitik Mallawa tahun 2017 diindikasikan bahwa situs ini padat huni dikarenakan temuan berlimpah dan relatif dekat dengan gua-gua di Maros. Temuan kapak dan pahat batu yang sudah diupam serta gerabah merupakan indikasi kuat tentang hunian para kelompok penutur Austronesia di wilayah Sulawesi Selatan. Teknologi pembuatan dan pemakaian wadah gerabah yang diperkenalkan oleh kelompok penutur Austronesia, dihubungkan dengan dimulainya tradisi bercocok tanam dan domestikasi hewan.

Peneliti dari Balai Arkeologi melakukan observasi dan ekskavasi pada Situs Neolitik Mallawa dan menemukan batu pelandas yang pada umumnya digunakan sebagai alat untuk meratakan dan membentuk badan dalam proses pembuatan gerabah. Batu pelandas ditemukan pada kotak ekskavasi bersama dengan fragmen gerabah pada kedalaman 60 cm hingga 130 cm. Pada kedalaman 130cm ditemukan gerabah berslip merah.

Hasil analisis mineral terhadap kandungan mineral tanah pada kotak ekskavasi, sama dengan kandungan mineral yang terkandung dalam gerabah. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tembikar tersebut dibuat dan diproduksi di sekitar wilayah Mallawa. Temuan kapak batu, beliung, manik-manik dan fragmen tembikar semakin menegaskan karakter situs Mallawa sebagai situs permukiman neolitik yang penting di wilayah timur Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *