Tradisi Katto Bokko alias pesta adat panen raya merupakan tradisi Masyarakat Maros yang sampai saat ini masih dilestarikan oleh sebagian warga setiap kali memasuki musim panen tiba.
Seperti halnya yang dilakukan oleh warga keturunan karaeng marusu dan masyarakat eks-wilayah pemerintahan Karaeng Marusu di Kecamatan Maros Baru, Kabupaten Maros, Sulawesi selatan.
Tradisi panen raya katto bokko ini terdiri atas 14 tahapan yang dilaksanakan keluarga kekaraengan (kerjaaan) dan masyarakat Maros sekali dalam setahun dengan tujuan meneguhkan silaturahim selain itu juga menunjukkan kebersamaan tanpa sekat antara bangsawan dan masyarakat.
Pada kegiatan Katto Bokko akan bertemu pemilik sawah, pekerja sawah dan pemuka adat. Mereka akan duduk bersama membahas masalah pertanian.
Tradisi panen perdana katto bokko akan dipimpin seorang pinati di lahan Kekaraengan Marusu. Panen padi jenis “ase banda” ini menggunakan alat tradisional, yakni anai-anai (pakkatto dalam bahasa setempat).
Biasanya pada pelaksanaan tradisi panen raya katto bokko pemerintah ikut andil melalui Dinas Pariwisata. (Admin)
Saat melintas di jalan poros Camba-Bone, Sulawesi Selatan (Sulsel), kerap dijumpai kera Macaca maura dengan mudahnya di pinggir jalan. Warga yang melintas di sepanjang jalur itu kerap turun dari kendaraan dan memberi kera-kera itu makanan.
Macaca maura merupakan salah satu satwa endemik yang mulai terancam punah yang tepatnya berada di Desa Labuaja, Kecamatan Cenrana, Maros. Kera yang tak memiliki ekor ini memiliki kecerdasan lebih dibanding monyet lantaran otaknya jauh lebih kompleks.
Kera yang dalam bahasa lokal disebut dare itu punya legenda yang sampai saat ini masih dikisahkan oleh sebagian warga. Walau banyak versi, cerita itu memiliki banyak pesan moral, bahkan mitos yang tetap diyakini.
Dikisahkan, ada sebuah kerajaan kera yang berada di Kampung Abbo, Kelurahan Leang-leang, Kecamatan Bantimurung. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja bernama Toakala atau I Marakondang. Raja ini digambarkan sebagai sosok kera tinggi besar, berbulu putih, dan pintar berbicara layaknya manusia.
“Di Kampung Abbo itu ada beberapa reruntuhan batu yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Toakala. Selain itu, ada juga batu berbentuk ranjang yang konon itu tempat tidur I Marakondang,” kata seorang budayawan Maros, Lory Hendrajaya,
Toakala yang sangat senang berburu, pada suatu hari, berangkat ke hutan mencari rusa. Namun, saat di perjalanan, tepatnya di telaga Kassi Kebo, yang berada di atas air terjun Bantimurung, ia tak sengaja melihat seorang wanita yang sangat cantik tengah mandi di danau itu.
Wanita cantik itu rupanya seorang putri dari Kerajaan Pattiro bernama I Bissu Daeng. Sosoknya, putri ini memiliki kulit putih dengan rambut yang sangat panjang. Bahkan, untuk mengurai rambut panjangnya itu, dibutuhkan tujuh tiang jemuran. Hal itulah yang membuat Toakala mabuk cinta kepadanya.
Sepulang dari berburu itu, Toakala mengirim utusannya ke Kerajaan Pattiro dengan maksud meminang. Namun perasaan cintanya berubah menjadi kemurkaan, saat pihak Pattiro menolak dan bahkan mengolok-olok dirinya, tidak pantas memperistrikan Bissu Daeng yang jelita lantaran ia hanya seekor kera.
Ia pun akhirnya menculik Bissu Daeng ke kerajaannya. Namun, tidak berselang lama, Bissu Daeng diselamatkan oleh seekor ular sanca besar dan membawanya pulang ke Pattiro. Toakala pun kembali murka dan memerintahkan seluruh rakyatnya untuk bersiap menyerang Kerajaan Pattiro.
“Nama Pattiro itu adalah salah satu dusun di Desa Labuaja. Jaraknya dengan Abbo mungkin ada sekitar 10 km kalau kita tidak lewat jalan umum. Di Dusun Pattiro itu juga ada beberapa reruntuhan batu yang diyakini bekas kerajaan. Selain itu, ada batu seperti ular melilit, konon itu ular sanca yang selamatkan putri,” terang Lory.
Mendapat kabar akan diserang, nyali Raja Pattiro ciut dan mengatur siasat jahat. Ia mengutus panglimanya untuk bertemu dengan Raja Toakala. Ia berpesan agar Toakala datang melamar secara baik-baik dengan syarat, seluruh rakyatnya harus ikut tanpa terkecuali.
“Karena cintanya kepada Bissu Daeng, amarah Toakala pun luluh dan mengiyakan permintaan itu. Ia pun mengerahkan seluruh rakyat dan pasukannya datang ke Pattiro untuk melamar gadis pujaannya itu,” lanjut Lory.
Sebelumnya, Raja Pattiro sudah menyiapkan sebuah ruangan besar yang terbuat dari jerami yang direkatkan getah pinus. Saat rombongan datang, mereka pun disambut dengan kenduri oleh Raja Pattiro di dalam ruangan besar itu. Toakala dan rakyatnya sama sekali tak sadar bahwa semua itu hanya jebakan belaka.
Belum usai menyantap makanan kenduri, ruangan besar itu sengaja dibakar oleh pasukan Pattiro dari luar hingga seluruh rakyat Toakala terpanggang oleh api. Karena Toakala memiliki kesaktian, ia bersama satu ekor kera betina hitam yang tengah hamil berhasil lolos dari kobaran api itu.
Sembari berlari masuk hutan, kera hitam yang lolos itu menyeka api yang membakar hangus ekor dan pantatnya. Kera itulah yang kemudian beranak pinak menjadi Macaca maura. Sedangkan Toakala yang telah marah sekaligus merasa bersalah memilih mengasingkan diri.
“Kalau dalam cerita ini, itulah penyebabnya Macaca maura tidak memiliki ekor dan pantatnya tidak berbulu. Dikisahkan, Toakala akhirnya menyepi ke dalam gua. Nah makanya ada nama gua di Bantimurung itu gua Toakala, konon itu tempat bertapanya,” tutur Lory.
Patung Monyet di gerbang masuk Permandian alam Air terjun BAntimurung (ist)
Setelah peristiwa nahas itu, Bissu Daeng diliputi rasa bersalah. Ia menganggap kecantikannya menjadi malapetaka besar. Ia pun mengutuk seluruh keturunannya tidak lagi berwajah cantik seperti dirinya. Kutukan inilah yang menjadi mitos di dusun Pattiro, jika ada wanita yang lahir cantik, ia tidak akan berumur panjang.
MAROS MUSEUM – Ada cara unik dari Suku Bugis di Sulawesi Selatan jika ingin pindah rumah. Bukan seperti yang Momopal pikirkan, pindah rumah berarti rumah baru dengan arsitektur baru dan yang lainnya. Suku Bugis yang pindah rumah akan tetap dengan rumah yang sama, rumah yang mereka tempati akan pindah ke rumah baru. Hanya suasananya saja yang berbeda, tetapi semuanya sama. Mengapa seperti itu?
Rumah bagi Suku Bugis berarti tanah ibu pertiwi bagi mereka, rumah berarti tanah warisan yang harus dijaga. Jadi, jika seorang warga Suku Bugis ingin pindah rumah berarti harus memindahkan satu rumah utuh ke tempat yang baru. Rumah masyarakat Suku Bugis terbuat dari kayu yang berbentuk panggung, itulah sebabnya mengapa masyarakat Suku Bugis dapat memindahkan rumahnya.
Rumah Suku Bugis berbentuk seperti rumah panggung dan di dalamnya terdapat tiga tingkatan. Pertama Dunia Atas (Botting Langi), dahulu dijadikan sebagai tempat untuk menaruh padi hasil panen. Kedua Dunia Tengah (Ale-Kawa), tempat ini untuk melakukan aktivitas yang punya rumah, layaknya rumah biasa terdapat kamar tidur, dapur, dan lain sebagainya. Terakhir Dunia Bawah (Awa Bola), dahulu digunakan untuk menaruh hewan peliharan, namun saat ini lebih sering digunakan untuk menaruh kendaraan.
Ada dua cara untuk memindahkan rumah Suku Bugis, yaitu dengan didorong dan diangkat. Jika pindahnya dekat maka hanya dengan didorong, baik ke depan, ke belakang, menyamping atau menyerong. Tetap jika jarak pindah rumah cukup jauh, sudah dipastikan rumah tersebut harus diangkat dengan bantuan oleh masyarakat sekitar.
Hal pertama yang dilakukan ketika pindah rumah adalah mengeluarkan barang-barang yang mudah pecah dan mudah bergerak, seperti piring, gelas, dan barang-barang elektronik lainnya. Namun, barang-barang berat seperti lemari, tempat tidur dan sebagainya yang akan merepotkan jika dikeluarkan, maka akan tetap dipertahankan di dalam rumah selama tidak berpengaruh signifikan terhadap berat rumah ketika akan diangkat atau didorong. Agar tidak jatuh ke lantai yang terbuat dari kayu, barang-barang tersebut dirapatkan ke tiang-tiang rumah yang terbuat dari kayu lalu diikat.
Jika rumah dipindahkan dengan cara didorong, maka ban dibelakang dipindahkan kedepan secara kontinyu agar tidak terputus. Ban tersebut di bentuk dari kayu hitam yang kuat. Ban diapit oleh dua buah papan, papan pertama menyentuh tanah dan papan kedua menyentuh kayu-kayu yang menjadi tiang. Tentu roda ban yang diperlukan membutuhkan jumlah yang banyak, tergantung luas rumah tersebut.
Sedangkan jika memindahkan rumah dengan diangkat, ditiang-tiang rumah harus dipasang bambu. Tingginya dari tanah sekitar 1,7 meter, bambu-bambu itulah yang nantinya menjadi tempat pegangan untuk mengangkat rumah.
Acara pemindahan rumah ini dipimpin oleh seorang ketua adat. Profesor layanan penulisan https://buyessayfriend.com/ mengklaim itu tidak sembarangan memindahkan rumah, karena masyarakat Suku Bugis harus ekstra kerja sama untuk memindahkan rumah tersebut, menyamakan irama langkah kaki agar dapat berjalan beriringan. Oleh karenanya, pindah rumah dijadikan ajang gotong royong oleh Suku Bugis
Namun, semakin berkembangnya zaman, sulit ditemukan masyarakat Suku Bugis yang memindahkan rumahnya dengan cara diangkat atau didorong. Hal itu karena masyarakat Suku Bugis kini memiliki rumah yang cukup besar dan dari kayu yang sangat kuat dan kokoh, sehingga akan sangat sulit jika harus dipindahkan. Tetapi tidak menutup kemungkinan jika Momopal berkunjung ke Sulawesi Selatan akan menemukan masyarakat asli Suku Bugis yang sedang memindahkan rumahnya.
Di Kecamatan Tompo Bulu, Kabupaten Maros, tidak hanya potensi alamnya yang menjadi daya tarik untuk wisatawan. Kecamatan di ujung Kabupaten Maros ini yang dikenal dengan puluhan air terjunnya yang cantikn ternyata tersimpan kekayaan budaya yang masih terus dilestarikan oleh masyarakatnya.
Seperti ritual tahunan yang dilaksanakan oleh Masyarakat di Dusu Bara, Desa Bontomanurung. Mereka mengadakan ritual persembahan makanan kepada leluhur. Makanan berupa seokor ayam kampung utuh dan songkolo (beras ketan), ada juga kapur dan sirih yang dibawa ke makam leluhur kemudia didoakan.
Seorang tetuah adat mendoakan makanan untuk dipersembahkan kepada leluhur masyarakat Tompo Bulu
Daeng Nimba salah satu tetuah adat di Dusun Baru mengatakan, ritual ini merupakan pesan leluhur masyarakat Tompo Bulu yang berkata, “jika nanti sehabis panen maka datanglah ke sini (ke makamnya) dan berdoalah. Doamu akan saya teruskan ke sang pencipta,”.
Daeng Nimba melanjutkan, setiap keluarga akan memgantarkan satu paket persembahan makanan berupa seekor ayam kampung, kapur sirih, dan songkolo sebagai bentuk rasa syukur mereka terhadap hasil panen yang mereka peroleh. Setelah didoakan, makanan tersebut akan dibagikan kembali untuk dimakan bermai-ramai oleh penduduk kampung.
Ritual adat kemudian dilanjutkan dengan gelaran “Allanja” yaitu adu betis antara pemuda. Hal ini dilakukan dengan saling menendang betis secara bergantian. Prosesi ini merupakan bentuk adu kekuatan diantara pemuda pengikut Karaeng Laiya dan Kareeng Baru, yang merupakan leluhur masyarat Bontomanurung.
Dahulu kala dijelaskan, Karaeng Laiya dan Karaeng Baru datang kedaerah ini untuk saling mengadu murid. Muridnya saling menendang betis secara bergantian. Adu betis ini biasanya berlangsung dari pagi sampai sore hari. Namun dulu pergelangan kaki para murid ini diapakaikan taji dari besi.
Rangkaian ritual kemudian dilanjutkan dengan Balianja, diawali dengan persembahan sesajen makanan dan lantunan doa, dari sang tetuah adat diikuti dewan dewan adat kampung. Ritual ini merupakan penggambaran upaya penduduk kampung dalam menghalau orang jahat yang berniat masuk dan merusak daerahnya.
Di tempat ini dewan adat berkumpul untuk menyelesaikan sebuah masalah. Diawali dengan adegan kejar-kejaran menggunakan obor, kemudian salah seorang pemuda menghalau pengejar dengan menggunakan badik. Itu menandakan orang jahat yang akan masuk le sini akan kami halau dan kami larang.
Dahulu ritual ini bertujuan untuk menyelesaikan sebuah masalah, dimana dewan adat kampung berkumpul untuk membicarakannya
Tak berhenti di situ, puncak rangkaian ritual adat ini masih berlanjut di malam hari dengan prosesi “Adengka Ase Lolo”. Padi muda yang barusaja dipanen ditumbuk dengan alu kemudian dinikmati bersama gula merah dan parutan kelapa muda (pal).
Liang Panning merupakan salah satu situs Gua Prasejarah yang terletak di Dusun Langi’ Desa Wannuawaru, Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Gua ini menjadi salah satu bukti peradaban manusia Prasejarah yang pernah menghuni wilayah Maros ribuan tahun silam.
Tenaga ahli Cagar Budaya (TACB) Disbudpar Maros, Yusriadi Arief mengatakan sejarah penemuan Liang panning ini sudah dikenal oleh masyarakat Mallawa sejak masa penjajahan. Meskipun sudah dikenal luas oleh masyarakat Mallawa namun khusus untuk kegiatan penelitian baru dimulai pada awal 90an.
Berdasarkan penelitian dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya beserta Balai Arkeologi, ditemukan berupa alat batu, juga sisa sisa makanan seperti cangkang kerang atau molusca yang mengindikasikan gua ini telah dihuni oleh manusia prasejarah sejak 7000 tahun yang lalu. Salah satu potensi yang Penting juga hasil penelitian di Liang ini ditemukan kerangka manusia yang telah berumur 4000 tahun yang lalu.
Selain itu situs Liang panning ini menjadi penting khususnya untuk mempelajari bagaimana interaksi manusia dimasa prasejarah dengan adanya kontak dua Kebudayaan antara budaya toala dengan manusia yang menggunakan bahasa astronesia
Sementara oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini disbudpar ditahun 2019 berdasarkan potensi yang dimiliki oleh keputusan bupati ditetapkan menjadii situs cagar budaya. Rencananya akan dilakukan pengembangan sebagai objek wisata situs cagar budaya dengan peringkat Kabupaten. (pl)