Di Kecamatan Tompo Bulu, Kabupaten Maros, tidak hanya potensi alamnya yang menjadi daya tarik untuk wisatawan. Kecamatan di ujung Kabupaten Maros ini yang dikenal dengan puluhan air terjunnya yang cantikn ternyata tersimpan kekayaan budaya yang masih terus dilestarikan oleh masyarakatnya.
Seperti ritual tahunan yang dilaksanakan oleh Masyarakat di Dusu Bara, Desa Bontomanurung. Mereka mengadakan ritual persembahan makanan kepada leluhur. Makanan berupa seokor ayam kampung utuh dan songkolo (beras ketan), ada juga kapur dan sirih yang dibawa ke makam leluhur kemudia didoakan.

Daeng Nimba salah satu tetuah adat di Dusun Baru mengatakan, ritual ini merupakan pesan leluhur masyarakat Tompo Bulu yang berkata, “jika nanti sehabis panen maka datanglah ke sini (ke makamnya) dan berdoalah. Doamu akan saya teruskan ke sang pencipta,”.
Daeng Nimba melanjutkan, setiap keluarga akan memgantarkan satu paket persembahan makanan berupa seekor ayam kampung, kapur sirih, dan songkolo sebagai bentuk rasa syukur mereka terhadap hasil panen yang mereka peroleh. Setelah didoakan, makanan tersebut akan dibagikan kembali untuk dimakan bermai-ramai oleh penduduk kampung.
Ritual adat kemudian dilanjutkan dengan gelaran “Allanja” yaitu adu betis antara pemuda. Hal ini dilakukan dengan saling menendang betis secara bergantian. Prosesi ini merupakan bentuk adu kekuatan diantara pemuda pengikut Karaeng Laiya dan Kareeng Baru, yang merupakan leluhur masyarat Bontomanurung.
Dahulu kala dijelaskan, Karaeng Laiya dan Karaeng Baru datang kedaerah ini untuk saling mengadu murid. Muridnya saling menendang betis secara bergantian. Adu betis ini biasanya berlangsung dari pagi sampai sore hari. Namun dulu pergelangan kaki para murid ini diapakaikan taji dari besi.
Rangkaian ritual kemudian dilanjutkan dengan Balianja, diawali dengan persembahan sesajen makanan dan lantunan doa, dari sang tetuah adat diikuti dewan dewan adat kampung. Ritual ini merupakan penggambaran upaya penduduk kampung dalam menghalau orang jahat yang berniat masuk dan merusak daerahnya.
Di tempat ini dewan adat berkumpul untuk menyelesaikan sebuah masalah. Diawali dengan adegan kejar-kejaran menggunakan obor, kemudian salah seorang pemuda menghalau pengejar dengan menggunakan badik. Itu menandakan orang jahat yang akan masuk le sini akan kami halau dan kami larang.

Tak berhenti di situ, puncak rangkaian ritual adat ini masih berlanjut di malam hari dengan prosesi “Adengka Ase Lolo”. Padi muda yang barusaja dipanen ditumbuk dengan alu kemudian dinikmati bersama gula merah dan parutan kelapa muda (pal).