Mappadendang, Sebuah Tradisi Ungkapan Syukur Masyarakat Usai Panen

Museum,Maros – Mappadendang atau pesta panen, menjadi salah satu tradisi warisan leluhur masyarakat di tanah Bugis-makassar, sebagai ungkapan rasa syukur pada sang pencipta atas hasil panen (padi) yang melimpah.

Tradisi yang juga dikenal dengan sebutan A’dengka ase lolo (bahasa Makassar) atau Mannampu ase lolo (bahasa Bugis) ini, masih terus terjaga dan dilestarikan hingga kini oleh masyarakat di Sulawesi selatan.

Sepertihalnya tradisi Mappadendang yang digelar oleh ratusan warga di Dusun Baniaga, Kecamatan Turikale Kabupaten Maros ini.

Mappadendang atau pesta panen diselenggarakan setiap tahunnya, setelah panen padi atau setelah 10 hari perayaan Idul fitri selama 3 hari berturut-turut.

“Itu pesta panen dilaksanakan setelah panen setelah 10 hari idul fitri, itu dilaksanakan setiap tahun. Ini untuk mensyukuri nikmat Allah kita habis panen”. kata H. Akim Bando, selaku toko adat setempat.

Ditempat ini, ratusan masyarakat seringkali hadir untuk menyaksikan keseruan berbagai rangkaian upacara adat Mappadendang.

Orang-orang datang ke Mappadendang untuk melihat upacara adat, seperti halnya para pemain ice casino datang untuk mendapatkan bonus dan promosi yang bagus. Liburan ini diadakan setelah panen padi atau setelah perayaan Idul Fitri, sama seperti kasino yang secara rutin memperbarui bonusnya untuk menandai acara atau perayaan tertentu. Ratusan orang berkumpul di Mappadendang untuk berpartisipasi dalam upacara dan perayaan, seperti halnya kasino tempat orang berkumpul untuk berjudi dan hiburan.

Sebelum acara dilangsungkan, para peserta baik perempuan maupun laki-laki terlebih dahulu mengenakan baju adat, untuk memulai rangkaian ritual yang disebut Mannampu ase lolo (bugis) atau A’dengka ase lolo (Makassar) yang dapat diartikan dengan menumbuk padi muda.

Dengan kepiawaian para peserta menumbuk (menggunakan Alu terbuat dari kayu panjang) lesung berisi padi muda, sehingga menimbulkan bunyi-bunyian merdu yang berirama. Sesekali sorak-sorai penontonpun turut andil dalam memberi semangat.

Pada prosesnya, padi muda yang dituangkan kedalam lesung sebelumnya diolah oleh peserta lain dengan cara di sangrai sampai matang. Kemudian dituangkan kedalam lesung sebagai proses pemisahan kulit dengan isinya, lalu dibersihkan untuk proses lanjutan.

Tokoh adat setempat H. Akim Bando menerangkan, baik bahan dan peralatan yang digunakan dalam kegiatan ini, Semuanya dikumpulkan oleh masyarakat secara sukarela. Seperti halnya hasil panen padi yang dibawah oleh masing-masing masyarakat untuk dikelolah bersama.

“Persiapan kita sampaikan ke masyarakat, kita mau laksanakan mappadendang. Jadi semua masyarakat dilingkungan baniaga ini membawa beras, ada membawa kelapa, gula dan semua perlengkapan yang akan digunakan. Jadi tinggal ketua adat menerima di rumah”. terangnya.

Lebih lanjut iya menjelaskan, setelah proses penumbukan padi muda selesai. Seluruh bahan-bahan yang telah disediakan kemudian dicampur kedalam dua adonan dengan dua rasa yang berbeda.

Untuk rasa manis, padi muda yang telah diolah dicampur menggunakan kelapa dan gula merah. Sedangkan untuk varian rasa gurih dicampur menggunakan garam dan kelapa.

Pada proses penyajiannyapun, hasil olahan ini dinikmati secara bersama-sama. bahkan sebagaian dibagikan pada warga sekitar maupun penonton yang hadir pada acara pesta panen ini.

“Biar perasaan nyaman, kita makan ramai-ramai, perasaan syukur kepada Allah yang telah melimpahkan resikinya pada kita”. pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *