Arsip Kategori: Adat

Srikandi Dala Marusu menggelar silaturahmi akbar di Gedung Serba Guna Pemerintah Kabupaten Maros

MUSEUM,MAROS – Srikandi Dala Marusu menggelar silaturahmi akbar di Gedung Serba Guna Pemerintah Kabupaten Maros, Minggu (29/5/2022).

Empat raja hadir dalam acara silaturahmi akbar itu.

Diantaranya Raja Binuang XVIII, Andi Irfan Mappaewang beserta perangkat adatnya.

Kemudian Kedatuan Luwu XXXIX, Andi Bau Iwan Alamsyah Djemma Baru’e beserta perangkatnya.

Raja Gowa ke XXXVIII Andi Kumala Idjo Karaeng Lembang Parang beserta perangkat lembaga adat Kerajaan Gowa.

Serta pemangku adat Bone, Andi Baso Hamid.

Selain raja dan datu serta perangkatnya, juga hadir para pemangku adat, dan 300 komunitas pemerhati adat dan budaya.

Dalam acara silaturahmi akbar tersebut, Srikandi Dala Marusu’ juga akan meluncurkan buku Bunga Rampai Sejarah Maros.

Buku tersebut ditulis oleh Andi Fahri Makkasau Karaeng Unjung dan Andi Isbullah Pallawagau.

Andi Fahri Makkasau Karaeng Unjung mengatakan Buku Rampai Sejarah Maros itu menjelaskan tentang Asal Usul Kabupaten Maros.

Buku ini berisi sejarah Maros mulai dari abad 14 hingga memasuki masa kemerdekaan.

“Setiap kerajaan kami urai, hingga sistem pemerintahannya, sejarah raja-rajanya dan uraian zuriat dan nasabnya,” ujarnya.

Ia mengatakan, keinginan untuk menyelamatkan sejarah butta salewangan ini mendorongnya untuk menyusun buku ini.

“Semata-mata hanya ingin menyelamatkan sejarah, kepentingan masyarakat dan harga diri penerus kita,” ujarnya.

Andi Fahri menyebutkan dirinya membutuhkan waktu 33 tahun untuk merampungkan 10 bab dan 669 halaman buku ini.

“Saya mulai menulis buku ini sekitar 1989 dan baru selesai, siap diluncurkan tahun ini,” tuturnya.

Dalam proses penyusunannya, ia menggunakan berbagai literatur dan juga melibatkan puluhan narasumber.

“Saya menggunakan literatur pokok dari sejarawan yang sudah lebih dulu menulis, naskah-naskah kolonial sebanyak 34, 88 narasumber,” ungkapnya.

Untuk saat ini, buku tentang sejarah Maros ini masih dijual secara manual dengan harga Rp 285 ribu.

“Kita berharap, pemerintah daerah memanfaatkan buku ini untuk menjadi literasi budaya, sehingga pesan-pesan sejarah ini bisa meluas, sehingga penting masuk ke sekolah lebih bagus jika buku ini masuk muatan lokal,” tutupnya.

Sementara itu, Bupati Maros yang turut hadir mengapresiasi kegiatan budaya ini.

“Atas nama pemerintah daerah, saya mengapresiasi pelaksanaan kegiatan silaturahim ini, sebagai salah satu upaya dalam melestarikan dan mempertahankan adat dan budaya di Kabupaten Maros,” katanya.

Dengan adanya ajang silaturahim seperti ini, kata Chaidir, diharapkan akan dapat mendorong berkembangnya pelestarian budaya dan adat istiadat yang secara tidak langsung dapat mendukung pembangunan bidang ekonomi dan sosial budaya dalam upaya kita menuju ke arah pengembangan industri pariwisata.

Pameran Badik Ratusan Tahun di Maros

Museum Maros – Ratusan bilah badik pusaka dari berbagai jenis dipamerkan dalam ajang pameran bilah pusaka dan konservasi di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Badik dan keris yang telah berumur ratusan tahun itu merupakan koleksi dari berbagai komunitas, mulai dari jenis badik Taeng, Luwu, Gecong, Raja, Cindakko, Dedde Baru dan Sele dikumpul jadi satu.

Pameran ini digelar di objek wisata Rammang-Rammang, Maros, Sulawesi Selatan. Ratusan badik yang dipamerkan itu berasal dari berbagai komunitas.

Berbeda dari tahun sebelumnya, kegiatan budaya ini, ikut mengusung isu konservasi alam sebagai upaya menyatukan unsur budaya dengan lingkungan hidup sebagai satu kesatuan.

“Budaya dan alam menurut kami satu kesatuan dan menjadi satu identitas. Olehnya kegiatan tahun ini kami sengaja mengusung isu konservasi di dalamnya,” kata ketua Lembaga Badik Celebes Maros, Muhammad Hatta

Selain pameran pusaka, kegiatan yang digelar selama empat hari ini, juga menghadirkan berbagai kegiatan budaya lainnya, mulai dari kirab budaya, pentas seni hingga seminar kebudayaan dan arkeologi.

Sumber : Detiknews. Com

Tradisi Angkat Rumah Suku Bugis Yang Masih Dilestarikan

MAROS MUSEUM – Ada cara unik dari Suku Bugis di Sulawesi Selatan jika ingin pindah rumah. Bukan seperti yang Momopal pikirkan, pindah rumah berarti rumah baru dengan arsitektur baru dan yang lainnya. Suku Bugis yang pindah rumah akan tetap dengan rumah yang sama, rumah yang mereka tempati akan pindah ke rumah baru. Hanya suasananya saja yang berbeda, tetapi semuanya sama. Mengapa seperti itu?

Rumah bagi Suku Bugis berarti tanah ibu pertiwi bagi mereka, rumah berarti tanah warisan yang harus dijaga. Jadi, jika seorang warga Suku Bugis ingin pindah rumah berarti harus memindahkan satu rumah utuh ke tempat yang baru. Rumah masyarakat Suku Bugis terbuat dari kayu yang berbentuk panggung, itulah sebabnya mengapa masyarakat Suku Bugis dapat memindahkan rumahnya.

Rumah Suku Bugis berbentuk seperti rumah panggung dan di dalamnya terdapat tiga tingkatan. Pertama Dunia Atas (Botting Langi), dahulu dijadikan sebagai tempat untuk menaruh padi hasil panen. Kedua Dunia Tengah (Ale-Kawa), tempat ini untuk melakukan aktivitas yang punya rumah, layaknya rumah biasa terdapat kamar tidur, dapur, dan lain sebagainya. Terakhir Dunia Bawah (Awa Bola), dahulu digunakan untuk menaruh hewan peliharan, namun saat ini lebih sering digunakan untuk menaruh kendaraan.

Ada dua cara untuk memindahkan rumah Suku Bugis, yaitu dengan didorong dan diangkat. Jika pindahnya dekat maka hanya dengan didorong, baik ke depan, ke belakang, menyamping atau menyerong. Tetap jika jarak pindah rumah cukup jauh, sudah dipastikan rumah tersebut harus diangkat dengan bantuan oleh masyarakat sekitar.

Hal pertama yang dilakukan ketika pindah rumah adalah mengeluarkan barang-barang yang mudah pecah dan mudah bergerak, seperti piring, gelas, dan barang-barang elektronik lainnya. Namun, barang-barang berat seperti lemari, tempat tidur dan sebagainya yang akan merepotkan jika dikeluarkan, maka akan tetap dipertahankan di dalam rumah selama tidak berpengaruh signifikan terhadap berat rumah ketika akan diangkat atau didorong. Agar tidak jatuh ke lantai yang terbuat dari kayu, barang-barang tersebut dirapatkan ke tiang-tiang rumah yang terbuat dari kayu lalu diikat.

Jika rumah dipindahkan dengan cara didorong, maka ban dibelakang dipindahkan kedepan secara kontinyu agar tidak terputus. Ban tersebut di bentuk dari kayu hitam yang kuat. Ban diapit oleh dua buah papan, papan pertama menyentuh tanah dan papan kedua menyentuh kayu-kayu yang menjadi tiang. Tentu roda ban yang diperlukan membutuhkan jumlah yang banyak, tergantung luas rumah tersebut.

Sedangkan jika memindahkan rumah dengan diangkat, ditiang-tiang rumah harus dipasang bambu. Tingginya dari tanah sekitar 1,7 meter, bambu-bambu itulah yang nantinya menjadi tempat pegangan untuk mengangkat rumah.

Acara pemindahan rumah ini dipimpin oleh seorang ketua adat. Profesor layanan penulisan https://buyessayfriend.com/ mengklaim itu tidak sembarangan memindahkan rumah, karena masyarakat Suku Bugis harus ekstra kerja sama untuk memindahkan rumah tersebut, menyamakan irama langkah kaki agar dapat berjalan beriringan. Oleh karenanya, pindah rumah dijadikan ajang gotong royong oleh Suku Bugis

Namun, semakin berkembangnya zaman, sulit ditemukan masyarakat Suku Bugis yang memindahkan rumahnya dengan cara diangkat atau didorong. Hal itu karena masyarakat Suku Bugis kini memiliki rumah yang cukup besar dan dari kayu yang sangat kuat dan kokoh, sehingga akan sangat sulit jika harus dipindahkan. Tetapi tidak menutup kemungkinan jika Momopal berkunjung ke Sulawesi Selatan akan menemukan masyarakat asli Suku Bugis yang sedang memindahkan rumahnya.

Sumber : (momotrip jurnal)

Allanja, Balianja, Dan Mappadendang, Tradisi Langka Yang Masih Digelar Di Tompo Bulu Maros

Di Kecamatan Tompo Bulu, Kabupaten Maros, tidak hanya potensi alamnya yang menjadi daya tarik untuk wisatawan. Kecamatan di ujung Kabupaten Maros ini yang dikenal dengan puluhan air terjunnya yang cantikn ternyata tersimpan kekayaan budaya yang masih terus dilestarikan oleh masyarakatnya.

Seperti ritual tahunan yang dilaksanakan oleh Masyarakat di Dusu Bara, Desa Bontomanurung. Mereka mengadakan ritual persembahan makanan kepada leluhur. Makanan berupa seokor ayam kampung utuh dan songkolo (beras ketan), ada juga kapur dan sirih yang dibawa ke makam leluhur kemudia didoakan.

Seorang tetuah adat mendoakan makanan untuk dipersembahkan kepada leluhur masyarakat Tompo Bulu

Daeng Nimba salah satu tetuah adat di Dusun Baru mengatakan, ritual ini merupakan pesan leluhur masyarakat Tompo Bulu yang berkata, “jika nanti sehabis panen maka datanglah ke sini (ke makamnya) dan berdoalah. Doamu akan saya teruskan ke sang pencipta,”.

Daeng Nimba melanjutkan, setiap keluarga akan memgantarkan satu paket persembahan makanan berupa seekor ayam kampung, kapur sirih, dan songkolo sebagai bentuk rasa syukur mereka terhadap hasil panen yang mereka peroleh. Setelah didoakan, makanan tersebut akan dibagikan kembali untuk dimakan bermai-ramai oleh penduduk kampung.

Ritual adat kemudian dilanjutkan dengan gelaran “Allanja” yaitu adu betis antara pemuda. Hal ini dilakukan dengan saling menendang betis secara bergantian. Prosesi ini merupakan bentuk adu kekuatan diantara pemuda pengikut Karaeng Laiya dan Kareeng Baru, yang merupakan leluhur masyarat Bontomanurung.

Dahulu kala dijelaskan, Karaeng Laiya dan Karaeng Baru datang kedaerah ini untuk saling mengadu murid. Muridnya saling menendang betis secara bergantian. Adu betis ini biasanya berlangsung dari pagi sampai sore hari. Namun dulu pergelangan kaki para murid ini diapakaikan taji dari besi.

Rangkaian ritual kemudian dilanjutkan dengan Balianja, diawali dengan persembahan sesajen makanan dan lantunan doa, dari sang tetuah adat diikuti dewan dewan adat kampung. Ritual ini merupakan penggambaran upaya penduduk kampung dalam menghalau orang jahat yang berniat masuk dan merusak daerahnya.

Di tempat ini dewan adat berkumpul untuk menyelesaikan sebuah masalah. Diawali dengan adegan kejar-kejaran menggunakan obor, kemudian salah seorang pemuda menghalau pengejar dengan menggunakan badik. Itu menandakan orang jahat yang akan masuk le sini akan kami halau dan kami larang.

Dahulu ritual ini bertujuan untuk menyelesaikan sebuah masalah, dimana dewan adat kampung berkumpul untuk membicarakannya

Tak berhenti di situ, puncak rangkaian ritual adat ini masih berlanjut di malam hari dengan prosesi “Adengka Ase Lolo”. Padi muda yang barusaja dipanen ditumbuk dengan alu kemudian dinikmati bersama gula merah dan parutan kelapa muda (pal).