Arsip Tag: Sejarah

Katto’ Bokko, Tradisi Pesta Panen Masyarakat Maros yang Masih Dipertahankan

Museum Maros – Pesta adat Tradisi Katto Bokko saat panen raya masih dipertahankan oleh keturunan Karaeng Marusu dan masyarakat eks-wilayah pemerintahan Karaeng Marusu di Kabupaten Maros, Sulsel.

Tradisi ini merupakan simbol permulaan panen yang masih dipertahankan terdiri dari 14 tahapan yang dilaksanakan keluarga kekaraengan (kerjaaan) dan pegawai atau masyarakat.

kegiatan tradisi katto bokko ini dilaksanakan sekali setahun selain sebagai ajang silaturrahim juga menunjukkan kebersamaan tanpa ada sekat antara pihak bangsawan dan masyarakat.

Pesta Panen raya Katto Bokko tahun ini dilaksanakan selama 2 hari yaitu pada 27 dan 28 maret 202, kegiatan ini mempertemukan antara pemilik sawah, pekerja sawah dan pemuka adat untuk duduk bersama membahas masalah pertanian.

pelaksanaan tradisi ini sudah dilakukan oleh silsilah keturunan Raja Marusu ke-24. Namun setelah kemerdekaan RI tidak lagi berbentuk kerajaan, tetapi dalam bentuk Kekaraengan yang dipimpin oleh pemangku adat.

Mengenai tradisi Katto Bokko ini, pihak pemerintah biasanya juga turut andil, melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat, bahkan saat ini pelaksanaan tradisi yang masih tetap terjaga ini sudah masuk menjadi kalender wisata.

Sebelum pelaksanaan Katto Bokko sendiri, para pemangku adat dan masyarakat berembuk menentukan hari pelaksanaan panen perdana secara adat. Selanjutnya, tradisi panen perdana ini akan dipimpin oleh seorang ‘pinati’ yang bertindak selaku pemimpin prosesi adat panen di lahan Kekaraengan Marusu.

Adapun padi yang dipanen yaitu jenis ‘ase banda’ ini menggunakan alat tradisional yakni anai-anai atau ‘pakkatto’ dalam bahasa masyarakat setempat.

Disbudpar Maros Dukung Penuh Agenda Youth Forum BP Geopark Maros-Pangkep

MAROS – Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Maros memberikan dukungan penuh Badan Pengelola (BP) Geopark Nasional Maros Pangkep untuk bergabung dalam Global Geopark UNESCO.

Hal itu diungkapan langsung Kepala Bidang Pariwisata Disbudpar Maros, Yusriadi Arief, dalam sambutannya pada pembukaan Workshop Geopark Youth Forum dengan tema Peran Pemuda dalam Pelestarian dan Pengembangan Kawasan Geopark Maros – Pangkep di Kawasan Wisata Alam Bantimurung, Kabupaten Maros, Minggu 7 Maret 2021.

Menurutnya, percepatan terwujudnya Geopark Nasional Maros Pangkep untuk bergabung dalam Global Geopark UNESCO masuk dalm 100 hari kerja Bupati dan Wakil Kabupaten Maros pada sektor pariwisata.

“Alhamdulillah, kita melihat progres teman-teman BP Geopark Maros Pangkep sangat signifikan, kita pastinya sangat apresiasi hal itu dan pada kesempatan ini, saya juga ingin sampaikan dukungan Bapak Bupati Maros, Chaidir Syam dan ibu Wabup Suhartina Bohari dalam program 100 hari kerjanya yang memprioritaskan program Badan Pengelola Geopark Maros Pangkep,” jelasnya.

Sementara itu, General Manager (GM) BP Geopark Maros – Pangkep, Dedi Irfan mengungkapkan hadirnya Youth Forum sebagai salah satu bagian dari BP Geopark Maros-Pangkep, mereka merupakan kumpulan pemuda dan pemudi yamg akan mendukung kinerja BP Geopark Maros- Pangkep dan untuk menjadi agen perubahan.

“Peran pemuda untuk menjadi agen perubahan dalam lingkungan site yang berada di kawasan Geopark Maros Pangkep sangat diperlukan untuk menjadi generaisi penerus terkait konservasi, edukasi dan pemberdayaan masyarakat di wilayah Geopark Maros – Pangkep,” bebernya.

Dedi Irfan melanjutkan, dimana hadirnya Youth Forum Geopark Maros Pangkep juga akan saling mendukung kerja-kerja dari beberapa bagian BP Geopark Maros Pangkep seperti pengelola geosite,
pemandu geoapark, bahkan seluruh stakeholder yang berkaitan dengan Geopark Maros Pangkep.

“Anggota dari youth ini merupakan pemuda-pemudi yang dibekali pengetahuan yang berada di site geopark untuk bisa membantu badan pengelola, pemerintah dan stake holder terkait untuk sosalasai manfaat dan kehadiran geopark Maros Pangkep. Termasuk membangun rasa cinta terhadap site Geopark Maros Pangkep,” jelasnya.

Kegiatan ini juga dihadiri langsung oleh Dewan Pengarah BP Geopark Maros Pangkep, AM. Irfan AB, yang Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, Kementerian Lingkungan Hidup, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, Disbudpar Pangkep dan Maros.

Sumber (Rakyat Sulsel)

Toakala dan Bisu Daeng Kisah Legenda Dari Maros

Saat melintas di jalan poros Camba-Bone, Sulawesi Selatan (Sulsel), kerap dijumpai kera Macaca maura dengan mudahnya di pinggir jalan. Warga yang melintas di sepanjang jalur itu kerap turun dari kendaraan dan memberi kera-kera itu makanan.

Macaca maura merupakan salah satu satwa endemik yang mulai terancam punah yang tepatnya berada di Desa Labuaja, Kecamatan Cenrana, Maros. Kera yang tak memiliki ekor ini memiliki kecerdasan lebih dibanding monyet lantaran otaknya jauh lebih kompleks.

Kera yang dalam bahasa lokal disebut dare itu punya legenda yang sampai saat ini masih dikisahkan oleh sebagian warga. Walau banyak versi, cerita itu memiliki banyak pesan moral, bahkan mitos yang tetap diyakini.

Dikisahkan, ada sebuah kerajaan kera yang berada di Kampung Abbo, Kelurahan Leang-leang, Kecamatan Bantimurung. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja bernama Toakala atau I Marakondang. Raja ini digambarkan sebagai sosok kera tinggi besar, berbulu putih, dan pintar berbicara layaknya manusia.

“Di Kampung Abbo itu ada beberapa reruntuhan batu yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Toakala. Selain itu, ada juga batu berbentuk ranjang yang konon itu tempat tidur I Marakondang,” kata seorang budayawan Maros, Lory Hendrajaya,

Toakala yang sangat senang berburu, pada suatu hari, berangkat ke hutan mencari rusa. Namun, saat di perjalanan, tepatnya di telaga Kassi Kebo, yang berada di atas air terjun Bantimurung, ia tak sengaja melihat seorang wanita yang sangat cantik tengah mandi di danau itu.

Wanita cantik itu rupanya seorang putri dari Kerajaan Pattiro bernama I Bissu Daeng. Sosoknya, putri ini memiliki kulit putih dengan rambut yang sangat panjang. Bahkan, untuk mengurai rambut panjangnya itu, dibutuhkan tujuh tiang jemuran. Hal itulah yang membuat Toakala mabuk cinta kepadanya.

Sepulang dari berburu itu, Toakala mengirim utusannya ke Kerajaan Pattiro dengan maksud meminang. Namun perasaan cintanya berubah menjadi kemurkaan, saat pihak Pattiro menolak dan bahkan mengolok-olok dirinya, tidak pantas memperistrikan Bissu Daeng yang jelita lantaran ia hanya seekor kera.

Ia pun akhirnya menculik Bissu Daeng ke kerajaannya. Namun, tidak berselang lama, Bissu Daeng diselamatkan oleh seekor ular sanca besar dan membawanya pulang ke Pattiro. Toakala pun kembali murka dan memerintahkan seluruh rakyatnya untuk bersiap menyerang Kerajaan Pattiro.

“Nama Pattiro itu adalah salah satu dusun di Desa Labuaja. Jaraknya dengan Abbo mungkin ada sekitar 10 km kalau kita tidak lewat jalan umum. Di Dusun Pattiro itu juga ada beberapa reruntuhan batu yang diyakini bekas kerajaan. Selain itu, ada batu seperti ular melilit, konon itu ular sanca yang selamatkan putri,” terang Lory.

Mendapat kabar akan diserang, nyali Raja Pattiro ciut dan mengatur siasat jahat. Ia mengutus panglimanya untuk bertemu dengan Raja Toakala. Ia berpesan agar Toakala datang melamar secara baik-baik dengan syarat, seluruh rakyatnya harus ikut tanpa terkecuali.

“Karena cintanya kepada Bissu Daeng, amarah Toakala pun luluh dan mengiyakan permintaan itu. Ia pun mengerahkan seluruh rakyat dan pasukannya datang ke Pattiro untuk melamar gadis pujaannya itu,” lanjut Lory.

Sebelumnya, Raja Pattiro sudah menyiapkan sebuah ruangan besar yang terbuat dari jerami yang direkatkan getah pinus. Saat rombongan datang, mereka pun disambut dengan kenduri oleh Raja Pattiro di dalam ruangan besar itu. Toakala dan rakyatnya sama sekali tak sadar bahwa semua itu hanya jebakan belaka.

Belum usai menyantap makanan kenduri, ruangan besar itu sengaja dibakar oleh pasukan Pattiro dari luar hingga seluruh rakyat Toakala terpanggang oleh api. Karena Toakala memiliki kesaktian, ia bersama satu ekor kera betina hitam yang tengah hamil berhasil lolos dari kobaran api itu.

Sembari berlari masuk hutan, kera hitam yang lolos itu menyeka api yang membakar hangus ekor dan pantatnya. Kera itulah yang kemudian beranak pinak menjadi Macaca maura. Sedangkan Toakala yang telah marah sekaligus merasa bersalah memilih mengasingkan diri.

“Kalau dalam cerita ini, itulah penyebabnya Macaca maura tidak memiliki ekor dan pantatnya tidak berbulu. Dikisahkan, Toakala akhirnya menyepi ke dalam gua. Nah makanya ada nama gua di Bantimurung itu gua Toakala, konon itu tempat bertapanya,” tutur Lory.

Patung Monyet di gerbang masuk Permandian alam Air terjun BAntimurung (ist)

Setelah peristiwa nahas itu, Bissu Daeng diliputi rasa bersalah. Ia menganggap kecantikannya menjadi malapetaka besar. Ia pun mengutuk seluruh keturunannya tidak lagi berwajah cantik seperti dirinya. Kutukan inilah yang menjadi mitos di dusun Pattiro, jika ada wanita yang lahir cantik, ia tidak akan berumur panjang.

(Sumber : DETIK.COM)

Allanja, Balianja, Dan Mappadendang, Tradisi Langka Yang Masih Digelar Di Tompo Bulu Maros

Di Kecamatan Tompo Bulu, Kabupaten Maros, tidak hanya potensi alamnya yang menjadi daya tarik untuk wisatawan. Kecamatan di ujung Kabupaten Maros ini yang dikenal dengan puluhan air terjunnya yang cantikn ternyata tersimpan kekayaan budaya yang masih terus dilestarikan oleh masyarakatnya.

Seperti ritual tahunan yang dilaksanakan oleh Masyarakat di Dusu Bara, Desa Bontomanurung. Mereka mengadakan ritual persembahan makanan kepada leluhur. Makanan berupa seokor ayam kampung utuh dan songkolo (beras ketan), ada juga kapur dan sirih yang dibawa ke makam leluhur kemudia didoakan.

Seorang tetuah adat mendoakan makanan untuk dipersembahkan kepada leluhur masyarakat Tompo Bulu

Daeng Nimba salah satu tetuah adat di Dusun Baru mengatakan, ritual ini merupakan pesan leluhur masyarakat Tompo Bulu yang berkata, “jika nanti sehabis panen maka datanglah ke sini (ke makamnya) dan berdoalah. Doamu akan saya teruskan ke sang pencipta,”.

Daeng Nimba melanjutkan, setiap keluarga akan memgantarkan satu paket persembahan makanan berupa seekor ayam kampung, kapur sirih, dan songkolo sebagai bentuk rasa syukur mereka terhadap hasil panen yang mereka peroleh. Setelah didoakan, makanan tersebut akan dibagikan kembali untuk dimakan bermai-ramai oleh penduduk kampung.

Ritual adat kemudian dilanjutkan dengan gelaran “Allanja” yaitu adu betis antara pemuda. Hal ini dilakukan dengan saling menendang betis secara bergantian. Prosesi ini merupakan bentuk adu kekuatan diantara pemuda pengikut Karaeng Laiya dan Kareeng Baru, yang merupakan leluhur masyarat Bontomanurung.

Dahulu kala dijelaskan, Karaeng Laiya dan Karaeng Baru datang kedaerah ini untuk saling mengadu murid. Muridnya saling menendang betis secara bergantian. Adu betis ini biasanya berlangsung dari pagi sampai sore hari. Namun dulu pergelangan kaki para murid ini diapakaikan taji dari besi.

Rangkaian ritual kemudian dilanjutkan dengan Balianja, diawali dengan persembahan sesajen makanan dan lantunan doa, dari sang tetuah adat diikuti dewan dewan adat kampung. Ritual ini merupakan penggambaran upaya penduduk kampung dalam menghalau orang jahat yang berniat masuk dan merusak daerahnya.

Di tempat ini dewan adat berkumpul untuk menyelesaikan sebuah masalah. Diawali dengan adegan kejar-kejaran menggunakan obor, kemudian salah seorang pemuda menghalau pengejar dengan menggunakan badik. Itu menandakan orang jahat yang akan masuk le sini akan kami halau dan kami larang.

Dahulu ritual ini bertujuan untuk menyelesaikan sebuah masalah, dimana dewan adat kampung berkumpul untuk membicarakannya

Tak berhenti di situ, puncak rangkaian ritual adat ini masih berlanjut di malam hari dengan prosesi “Adengka Ase Lolo”. Padi muda yang barusaja dipanen ditumbuk dengan alu kemudian dinikmati bersama gula merah dan parutan kelapa muda (pal). 

Sejarah Bangunan Museum Daerah Kabupaten Maros

Kondisi bangunan Museum Daerah Maros saat ini (Dok. Museum)

Museum Daerah Maros terletak di Jalan Jenderal Ahmad Yani No. 1, Kelurahan Turikale, Kecamatan Turikale, Kabupaten Maros. Kondisi bangunan ini 90% merupakan bangunan asli dari masa kolonial dengan bentuk persegi yang memanjang ke belakang.

Bangunan Museum Daerah Maros berukuran 266 M² dan menempati lahan seluas 1.370 M². Bangunan ini terbuat dari bahan dasar batu bata yang diplester kapur dan pasir. Bagian lantai ditutupi tegel dan bagian atas ditutupi seng.

Awalnya bangunan ini meruakan Kantor Controler yang didirikan tahun 1835 oleh Belanda untuk kepentingan kolonial di Maros. Pasca Kemerdekaan bangunan ini silih berganti beralih fungsi, mulai dipergunakan sebagai Kantor Kepala Pemerintahan Negeri Maros, kemudian dijadikan sebagai Rumah Sakit Bersalin, lalu menjadi Kantor Bappeda Maros hingga dipergunakan sebagai Kantor Camat Turikale.

Saat ini, Pemerintah Kabupaten Maros telah menetapkan bangunan ini sebagai Cagar Budaya sehingga Bangunan Museum Daerah Maros ini juga merupakan salah satu koleksi yang dimiliki Museum Daerah Maros.

Struktur bangunan Lanraad Koleksi Museum Daerah Kabupaten Maros berupa struktur, yaitu seperti genteng, bata, dan plesteran bangunan Landraad. Berdasarkan arsip di Kantor Pengadilan Negeri Maros, bangunan kantor Landraad ini dibangun tahun 1918 yang berfungsi sebagai Kantor Pengadilan.

Kantor ini berbatasan dengan Jalan Jenderal Ahmad Yani di sebelah Selatan, barat berbatasan dengab Kantor Kejaksaan Negeri Maros, sebeleah timur berbatasan dengan jalan H.M Kasim, dan di sebelah Utara berbatasan dengan Rumah Dinas Hakim Ketua.

Batu Bata dari struktur bangunan Landraad yang dibangun tahun 1928 yang berfungsi sebagai Kantor Pengadila ini melekat pada struktur Tiang bangunan dengan Berat 300 gram, panjang 24 cm, tebal 5,5 cm dan Lebar : 11 cm. Selain itu ada juga Bata yang melekat pada struktur Dinding bangunan dengan berat 250 gram, panjang 12 cm, tebal 5,5 cm dan lebar 11cm.

Koleksi Arkeologi selanjutnya adalah Genteng yang digunakan sebagai atap bangunan dengan berat 300 gram, panjang 34 cm, tebal 1,7 cm dan lebar 27 cm. Koleksi terakhir yaitu plasteran yang melekat pada dinding Bangunan dengan Berat 1000 gram, tebal 2,5 cm, terdiri dari pasir, kapur dan Semen. (pl)

Peralatan Rumah Tangga Zaman Mesolitikum

Peralatan Rumah Tangga

Peralatan rumah tangga merupakan salah satu jenis koleksi yang dipamerkan pada Museum Daerah Maros. Keberadaan alat rumah tangga menandakan bahwa manusia sudah pandai dalam membuat alat-alat untuk melengkapi kehidupan mereka. Bahan yang digunakan dalam peralatan rumah tangga adalah bahan yang sederhana yang dapat ditemukan di alam yaitu tanah liat, daun pandan, batu andesit, rotan bambu, dan tali.

1. Tanah Liat

Peralatan dengan bahan dasar tanah liat menghasilkan beberapa jenis benda, seperti gerabah, tembikar bahkan keramik. Ketiga bahan tersebut tentunya memiliki perbedaan yaitu:

• Gerabah adalah alat dapur (untuk memasak dan sebagainya) yang dibuat dari tanah liat yang dibakar (misalnya kendi, belanga)

• Tembikar terbagi atas dua definisi, yaitu barang dari tanah liat yang dibakar dan berlapis gilap: perselen atau pecahan (pinggan, periuk dan sebagainya); beling;  tembereng.

• Keramik adalah tanah liat yang dibakar, dicampur dengan mineral lain; barang tembikar (porselen).