Cangkang molusca

Molusca adalah kelompok hewan terbesar kedua setelah filum artrhopoda, yang diperkirakan mencapai 100.000 jenis (spesies) yang dibedakan atas 5 kelas yaitu: Polyplacophora, Pelecypoda (Bivalvia), Gastropoda, Scaphopoda, dan Cephalopoda. Hewan dari filum ini adalah termasuk hewan yang tidak bertulang belakang (invertebrata) dengan tubuh lunak, umumnya bercangkang, serta memiliki system reproduksi internal (kelamin ganda/hermaprodit), memiliki habitat hidup di darat dan di air. Karena termasuk dalam hewan bertubuh lunak dan tidak memiliki tulang belakang, maka umumnya kelompok ini memiliki cangkang atau kulit keras untuk melindungi diri, seperti pada kelas Scaphopoda, gastropoda (siput), dan pelecypoda/bivalvia (kerang), sedangkan untuk kelas cephalopoda memiliki cankang dalam sebagai pengganti tulang belakang.

Memiliki tingkat adaptasi yang tinggi, hewan ini hampir menghuni seluruh jenis habitat di darat seperti gua, hutan, padang, hingga gurun, sedangkan di air dapat beradaptasi dengan air tawar, payau dan air asin. Pada lingkungan alam yang sehat, molusca dapat berkembang biak dengan baik dengan reproduksi yang melimpah karena kemampuan beradaptasinya. Diketahui pula bahwa berbagai jenis molusca tersebut mengandung nutrisi yang cukup tinggi, terutama protein dan mineral. Kemampuan adaptasi ini karena system pelindungan tubuh yang menggunakan cangkang atau mantel yang keras. Cangkang ini tersusun atas bahan kapur (kalsium karbonat) yang bersifat keras hingga mampu bertahan lama sampai ribuan tahun.

Karena bernutrisi tinggi, maka secara alamiah manusia prasejarah telah memanfaatkan jenis hewan ini sebagai makanan, dan cangkangnya yang keras digunakan sebagai peralatan hidup sehari-hari, dan bahkan dimanfaatkan pula sebagai perhiasan. Hasil-hasil penelitian arkeologi di kawasan karst Maros Pangkep membuktikan bahwa peran molusca atau kerang-kerangan sangat menentukan perkembangan kebudayaan sejak masa prasejarah, setidaknya 40.000 tahun yang lalu. Sebagian besar temuan cangkang atau kulit-kulit kerang baik yang setangkup maupun siput atau keong, ditemukan sebagai sisa-sisa makanan. Kulit-kulit kerang yang menumpuk di gua-gua terbukti sebagai sampah dapur, setelah daging molusca dimakan, kulitnya dibuang. Konsumsi kerang-kerangan dalam waktu yang lama atau oleh kelompok manusia menghasilkan tumpukan kerang hingga menjadi lapisan tersendiri dalam pelapisan tanah di dalam atau di sekitar gua. Sebagian karena lama penumpukan dan pengendapannya membentuk lapisan menyerupai kongkresi cangkang dengan lapisan kapur sebagai pengikatnya. Selain itu, dibuktikan pula bahwa cangkang kerang (bivalvia) digunakan oleh manusia prasejarah sebagai peralatan hidup, terutama cangkang kerang yang ditajamkan untuk dipakai sebagai alat memotong atau mengiris. Dalam beberapa kasus, juga cangkang-cangkang molusca dimodifikasi menjadi perhiasan, sebagai mata kalung, gelang, dan lain-lain. Dari cangkang-cangkang tersebut, para arkeolog juga dapat mengetahui pola hidup manusia dalam mengumpulkan makanan, selain berburu. Mereka mengumpulkan molusca dari sungai atau rawa, muara sungai, lingkungan bakau, laguna, dan di lingkungan pantai. Mereka bekerja secara sendiri-sendiri ataupun berkelompok, dan diduga lebih banyak dilakukan oleh kaum perempuan.

Gambar : Artefak cangkang molusca /koleksi museum daerah maros

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *