Arsip Bulanan: Januari 2021

Artefak Kapak Batu

Kapak Batu

Dari segi umur dan cara buat, koleksi artefak batu di Museum Daerah Maros yang dikumpulkan dari situs-situs prasejarah di Kabupaten Maros dapat dibagi menjadi dua bagian besar. Pertama adalah artefak batu serpih yang sebagian besar diperoleh dari gua-gua prasejarah yang berumur antara 4.000 tahun lalu hingga 10.000 tahun lalu yang dikategorikan sebagai hasil budaya Jaman Praneolitik. Kedua adalah artefak batu yang sebagian besar diperoleh dari situs-situs terbuka di kawasan Mallawa, berumur antara 2.000 tahun lalu hingga 4.000 tahun lalu yang dikategorikan sebagai Jaman Neolitik.

Secara umum, koleksi artefak batu serpih Museum Daerah Maros tergolong dalam fase budaya Praneolitik Maros. Artefak batu serpih Maros dibuat oleh para penghuni gua yang populer disebut sebagai komunitas Toala. Istilah ini diperkenalkan oleh Paul dan Fritz Sarasin dalam bukunya yang berjudul Reisen in Celebes (1905). Teknologi artefak batu serpih Toala merupakan satu-satunya inovasi teknologi alat batu di Asia Tenggara. Inovasi teknologi alat batu Toala terekspresikan pada alat batu yang spesifik bentuk dan fungsinya, seperti mata panah bergerigi (Maros point) dan mikrolit (microlith). Mata panah bergerigi dan artefak batu serpih Toala lainnya jelas menggambarkan fungsinya sebagai alat perburuan dan pengolah makanan. Tempat penemuan artefak batu serpih adalah di dalam gua dalam jumlah puluhan ribu, menggambarkan lamanya aktivitas hunian di dalam gua-gua pegunungan kapur Maros.

Maros point dan mikrolit dibuat dengan teknik yang sangat cermat dan detail dengan frekuensi peretusan yang tinggi. Teknologi alat batu Toala biasa disejajarkan dengan teknologi alat batu Levallois yang berkembang di Eropa pada masa yang sama. Maros point dan mikrolit jelas menggambarkan kemampuan teknik tinggi yang perencanaannya berawal dari bongkahan batu inti bulat. Bahan Maros point dan mikrolit adalah dari jenis batuan chert atau biasa juga disebut batu rijang. Jenis batuan ini dipilih karena mengandung silika (unsur kaca) yang tinggi sehingga mudah dibentuk dan menghasilkan alat batu yang tajam. Batuan rijang banyak dijumpai di dataran banjir sungai pada kawasan batu kapur Maros Pangkep (Duli & Nur, 2016). Secara garis besar, teknik yang digunakan komunitas Toala dalam membuat alat batu adalah teknik penyerpihan dan belum memperlihatkan indikasi pengasahan alat.

Koleksi artefak batu Museum Daerah Maros yang tergolong dari jaman Neolitik adalah kapak dan beliung. Semua koleksi kapak dan beliung Museum Daerah Maros berasal dari beberapa situs di Kecamatan Mallawa, seperti situs Bulu Bakung, Situs Bulu Tana Ugi dan Situs Bulu Uttangnge. Kapak dan beliung batu yang diperoleh dari situs-situs terbuka di Mallawa dibuat dengan menggunakan teknik penyerpihan pada tahap pembentukan dan menggunakan teknik pengasahan untuk memperoleh tajaman alat dan bentuk yang ideal pada tahap kedua. Perbedaan kapak dan beliung terletak pada bentuk bagian tajaman. Bentuk tajaman kapak adalah setangkup dengan bidang yang sama antara sisi kiri dan kanan, sedangkan bentuk tajaman beliung miring pada satu sisi tajaman saja atau menyerupai tajaman pahat. Berdasarkan informasi etnografis, kapak dan beliung sama-sama memakai gagang atau tangkai ketika digunakan. Posisi mata kapak pada gagangnya adalah sejajar sedangkan posisi mata beliung pada gagangnya adalah memotong 90 derajat.

Dari studi etnografi, fungsi kapak dan beliung dapat digunakan untuk mengolah kayu atau menebang pohon yang berukuran lingkar sekitar 50 cm. Jika dibandingkan dengan fungsi alat batu serpih dari jaman Praneolitik, terlihat bahwa penggunaan alat serpih jauh berbeda dengan penggunaan kapak dan beliung dari Jaman Neolitik. Kajian fungsi kapak dan beliung menggambarkan aktivitas yang berhubungan dengan pengolahan lahan pertanian seperti penebangan pohon untuk pembukaan lahan baru atau pengolahan batang pohon untuk dijadikan sebagai bahan rumah tinggal. Lokasi penemuan kapak dan beliung di Mallawa pada situs-situs padang terbuka merupakan bukti bahwa aktivitas hunian pada bentang lahan pertanian dimulai pada Jaman Neolitik. Analisis umur dari situs-situs dimana kapak dan beliung Mallawa diperoleh adalah antara 3.580 ±130 BP dan 2.710 ±170 BP (Bulbeck, 1996-1997; Simanjuntak, 2008) hingga 2.281 ± 46 BP (Hakim et al., 2009:45). Informasi penting terkait temuan kapak dan beliung dari Mallawa adalah ditemukan bersama fragmen tembikar dalam jumlah ribuan. Data tersebut menguatkan asumsi tentang fungsi situs-situs terbuka di Mallawa sebagai situs hunian Jaman Neolitik. Walaupun belum ditemukan bukti tulang manusia tetapi berdasarkan kajian regional, jenis manusia yang bermukim di situs-situs Neolitik Mallawa adalah ras Mongoloid yang menuturkan Bahasa Austronesia. Meskipun masih bersifat hipotetik, kuat dugaan bahwa manusia penghuni Situs Neolitik Mallawa merupakan leluhur langsung manusia penghuni Pulau Sulawesi sekarang, terutama Sulawesi Selatan.

Sejarah Fragmen Gerabah

Fragmen Gerabah

Indonesia telah mengenal gerabah sejak masa bercocok tanam (neolitik), masa perundagian, masa Hindu-Budha, masa Islam, hingga masa sekarang. Bukti penggunaan gerabah di Indonesia dari masa neolitik terekam pada Situs-Situs Arkeologi di Indonesia. Peneliti memperkirakan gerabah mulai dikenal 2.500-1.500 tahun sebelum masehi, ketika tradisi bercocok tanam mulai muncul dan kebutuhan akan tempat penyimpanan mulai dirasakan penting. Penggunaan gerabah kemudian terus berlanjut hingga masa sesudahnya.

Gerabah merupakan merupakan istilah yang lebih umum digunakan di Indonesia untuk merujuk pada tembikar (earthenware) atau barang-barang yang terbuat dari tanah liat bakar. Gerabah adalah temuan penting untuk mengindikasikan permukiman masa lampau dan menggambarkan berbagai aspek kehidupan manusia untuk hidupnya sehari-hari, seperti tempat menyimpan makanan (baik dalam bentuk cair maupun padat), alat mengolah makanan, maupun keperluan lainnya. Pada perkembangannya gerabah tidak hanya memiliki fungsi kebutuhan keseharian tetapi juga fungsi religius. Wadah-wadah gerabah ditemukan di beberapa situs prasejarah sebagai tempat meletakkan jenasah atau tulang manusia pada sistem kubur tempayan. Beberapa gerabah juga ditemukan sebagai tempat untuk menyimpan bekal kubur. Teknik pembuatan gerabah yang dikenal sangatlah sederhana, yaitu dengan teknik tangan. Museum of London berusaha merekonstruksi teknik pembuatan gerabah berbentuk wadah pot pada masa prasejarah.

Pada masa perundagian, teknik pembuatan gerabah mengalami perkembangan dengan menggunakan teknik tatap pelandas dan roda putar lambat. Bentuk wadah yang banyak ditemukan pada masa prasejarah adalah tempayan, periuk, cawan. Gerabah yang ditemukan tersebut melambangkan cara hidup manusia pada masa itu.

Gerabah adalah salah satu benda hasil budaya yang seringkali ditemukan di berbagai situs arkeologi, baik dalam kegiatan survei maupun ekskavasi sebagai data arkeologi, termasuk pada salah satu situs di Sulawesi Selatan, yaitu Situs Neolitik Mallawa.

Situs Neolitik Mallawa terletak pada perbatasan dua kabupaten, yaitu Kabupaten Maros wilayah Desa Sabila Kecamatan Mallawa di sisi utara hingga barat dan Kabupaten Bone wilayah Desa Poleonro Kecamatan Libureng di sisi selatan hingga timur. Situs ini memiliki temuan yang bervariasi seperti alat batu berbagai bentuk dan fragmen gerabah.

Museum Daerah Maros memiliki koleksi fragmen gerabah yang berasal dari situs Neolitik Mallawa berjumlah 11 pecahan, yang dikelompokkan dalam koleksi arkeologi. Pecahan tersebut memang sedikit menyulitkan untuk dianalisis dari sisi bentuk, teknologi, dan konteks secara langsung dengan situs dan lingkungannya. Oleh karena itu, diperlukan kajian koleksi mendalam tentang berbagai jenis fragmen tersebut. Namun secara umum informasi terkait Situs Neolitik Mallawa telah ada sejak tahun 1994.

Banyak penelitian, baik ilmiah maupun terapan, yang dilakukan oleh lembaga pemerintah seperti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan, Balai Arkeologi Makassar, dan sebagainya. Selain penelitian untuk kepentingan riset dan pelestarian, Situs Neolitik Mallawa juga menjadi objek penelitian oleh mahasiswa jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin.

Adapun temuan Situs Neolitik Mallawa, berdasarkan hasil survey penyelamatan lanjutan Situs Neolitik Mallawa tahun 2012 dan 2013 oleh Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan adalah sebagai berikut:

  1. Alat batu. Hasil survey penyelamatan tahun 2012, Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan menemukan 1818 buah alat batu berupa alat serpih, kapak, beliung, batu inti, tatap pelandas, batu ike, dan batu asah.
  2. Gerabah. Hasil survey penyelamatan tahun 2012 dan 2013, Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan menemukan 559 fragmen gerabah berukuran kecil hingga sedang, berjumlah 559 buah. Motif hiasnya seperti garis (lurus, tegak, miring dan zig zag), lingkaran—bahkan ada yang sampai tembus dan tumpal. Bagian gerabah yang ditemukan seperti penutup, tepian, bibir, leher, badan, pegangan, kaki dan dasar. Kondisi permukaan terlihat beberapa diantaranya memiliki glasir dan patina. Sebaran fragmen gerabah hanya ditemukan di bagian utara dan selatan lereng serta di puncak Bulu Bakung. Fragmen gerabah yang dimiliki oleh Museum Daerah Maros hampir serupa dengan temuan fragmen gerabah yang diinventaris oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan.

Berdasarkan hasil penelitian Balai Arkeologi Makassar di Situs Neolitik Mallawa tahun 2017 diindikasikan bahwa situs ini padat huni dikarenakan temuan berlimpah dan relatif dekat dengan gua-gua di Maros. Temuan kapak dan pahat batu yang sudah diupam serta gerabah merupakan indikasi kuat tentang hunian para kelompok penutur Austronesia di wilayah Sulawesi Selatan. Teknologi pembuatan dan pemakaian wadah gerabah yang diperkenalkan oleh kelompok penutur Austronesia, dihubungkan dengan dimulainya tradisi bercocok tanam dan domestikasi hewan.

Peneliti dari Balai Arkeologi melakukan observasi dan ekskavasi pada Situs Neolitik Mallawa dan menemukan batu pelandas yang pada umumnya digunakan sebagai alat untuk meratakan dan membentuk badan dalam proses pembuatan gerabah. Batu pelandas ditemukan pada kotak ekskavasi bersama dengan fragmen gerabah pada kedalaman 60 cm hingga 130 cm. Pada kedalaman 130cm ditemukan gerabah berslip merah.

Hasil analisis mineral terhadap kandungan mineral tanah pada kotak ekskavasi, sama dengan kandungan mineral yang terkandung dalam gerabah. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tembikar tersebut dibuat dan diproduksi di sekitar wilayah Mallawa. Temuan kapak batu, beliung, manik-manik dan fragmen tembikar semakin menegaskan karakter situs Mallawa sebagai situs permukiman neolitik yang penting di wilayah timur Indonesia.

Cangkang molusca

Molusca adalah kelompok hewan terbesar kedua setelah filum artrhopoda, yang diperkirakan mencapai 100.000 jenis (spesies) yang dibedakan atas 5 kelas yaitu: Polyplacophora, Pelecypoda (Bivalvia), Gastropoda, Scaphopoda, dan Cephalopoda. Hewan dari filum ini adalah termasuk hewan yang tidak bertulang belakang (invertebrata) dengan tubuh lunak, umumnya bercangkang, serta memiliki system reproduksi internal (kelamin ganda/hermaprodit), memiliki habitat hidup di darat dan di air. Karena termasuk dalam hewan bertubuh lunak dan tidak memiliki tulang belakang, maka umumnya kelompok ini memiliki cangkang atau kulit keras untuk melindungi diri, seperti pada kelas Scaphopoda, gastropoda (siput), dan pelecypoda/bivalvia (kerang), sedangkan untuk kelas cephalopoda memiliki cankang dalam sebagai pengganti tulang belakang.

Memiliki tingkat adaptasi yang tinggi, hewan ini hampir menghuni seluruh jenis habitat di darat seperti gua, hutan, padang, hingga gurun, sedangkan di air dapat beradaptasi dengan air tawar, payau dan air asin. Pada lingkungan alam yang sehat, molusca dapat berkembang biak dengan baik dengan reproduksi yang melimpah karena kemampuan beradaptasinya. Diketahui pula bahwa berbagai jenis molusca tersebut mengandung nutrisi yang cukup tinggi, terutama protein dan mineral. Kemampuan adaptasi ini karena system pelindungan tubuh yang menggunakan cangkang atau mantel yang keras. Cangkang ini tersusun atas bahan kapur (kalsium karbonat) yang bersifat keras hingga mampu bertahan lama sampai ribuan tahun.

Karena bernutrisi tinggi, maka secara alamiah manusia prasejarah telah memanfaatkan jenis hewan ini sebagai makanan, dan cangkangnya yang keras digunakan sebagai peralatan hidup sehari-hari, dan bahkan dimanfaatkan pula sebagai perhiasan. Hasil-hasil penelitian arkeologi di kawasan karst Maros Pangkep membuktikan bahwa peran molusca atau kerang-kerangan sangat menentukan perkembangan kebudayaan sejak masa prasejarah, setidaknya 40.000 tahun yang lalu. Sebagian besar temuan cangkang atau kulit-kulit kerang baik yang setangkup maupun siput atau keong, ditemukan sebagai sisa-sisa makanan. Kulit-kulit kerang yang menumpuk di gua-gua terbukti sebagai sampah dapur, setelah daging molusca dimakan, kulitnya dibuang. Konsumsi kerang-kerangan dalam waktu yang lama atau oleh kelompok manusia menghasilkan tumpukan kerang hingga menjadi lapisan tersendiri dalam pelapisan tanah di dalam atau di sekitar gua. Sebagian karena lama penumpukan dan pengendapannya membentuk lapisan menyerupai kongkresi cangkang dengan lapisan kapur sebagai pengikatnya. Selain itu, dibuktikan pula bahwa cangkang kerang (bivalvia) digunakan oleh manusia prasejarah sebagai peralatan hidup, terutama cangkang kerang yang ditajamkan untuk dipakai sebagai alat memotong atau mengiris. Dalam beberapa kasus, juga cangkang-cangkang molusca dimodifikasi menjadi perhiasan, sebagai mata kalung, gelang, dan lain-lain. Dari cangkang-cangkang tersebut, para arkeolog juga dapat mengetahui pola hidup manusia dalam mengumpulkan makanan, selain berburu. Mereka mengumpulkan molusca dari sungai atau rawa, muara sungai, lingkungan bakau, laguna, dan di lingkungan pantai. Mereka bekerja secara sendiri-sendiri ataupun berkelompok, dan diduga lebih banyak dilakukan oleh kaum perempuan.

Gambar : Artefak cangkang molusca /koleksi museum daerah maros

Lukisan hewan tertua di dunia ditemukan di Sulawesi, diyakini berusia 45.500 tahun

ketgam : foto istimewa

Arkeolog menemukan lukisan hewan tertua di dunia di dalam sebuah gua di Sulawesi, Indonesia.

Dilukis dengan pigmen merah tua dari tanah liat, gambar babi liar dengan ukuran sebenarnya itu tampaknya merupakan bagian dari sebuah adegan narasi.

Lukisan itu ditemukan di gua Leang Tedongnge, yang terletak di sebuah daerah perbukitan terpencil di Sulawesi Selatan.

Ia menjadi bukti tertua akan keberadaan permukiman manusia di wilayah tersebut.

“Orang-orang yang membuatnya sudah sangat modern, mereka seperti kita, mereka punya semua kapasitas dan alat untuk membuat lukisan apa pun yang mereka suka,” kata Maxime Aubert, salah satu penulis laporan yang diterbitkan di jurnal ilmiah Science Advances.

Sebagai spesialis penanggalan, Aubert mengidentifikasi endapan kalsit yang terbentuk di atas lukisan di Leang Tedongnge, dan menggunakan penanggalan isotop seri Uranium untuk menentukan usianya.

Ia menemukan bahwa usianya 45.500 tahun. Ini berarti prakarya tersebut setidaknya setua itu.

“Tapi bisa jadi lebih tua karena penanggalan yang kami lakukan hanya terhadap kalsit di atasnya,” imbuh Aubert.

Laporan di Science Advances mengatakan lukisan dengan panjang 136cm dan lebar 54cm itu menunjukkan seekor babi liar dengan tonjolan mirip tanduk di wajahnya, yang merupakan ciri kelompok jantan dari spesies tersebut.

Terdapat dua lukisan tangan di atas punggung si babi, yang juga tampaknya berhadapan dengan dua babi lainnya yang hanya terawetkan sebagian.

Penulis pembantu laporan tersebut, Adam Brumm, mengatakan, “Babi itu tampaknya sedang menyaksikan pertarungan atau interaksi sosial antara dua babi lainnya.”

Untuk membuat lukisan tangan, sang pelukis perlu menempatkan tangan mereka di permukaan sebelum menyemburkan pewarna ke atasnya, kata para peneliti. Mereka juga berharap dapat mengekstrak sampel DNA dari sisa air ludah.

Lukisan ini mungkin merupakan karya seni tertua yang menampilkan sosok, namun ia bukan karya seni tertua yang dibuat manusia.

Di Afrika Selatan, coret-coretan mirip tagar berusia 73.000 tahun yang lalu diyakini sebagai gambar tertua di dunia.

(Sumber : BBC INDONESIA)

Museum Daerah Maros Gelar Rapat Persiapan Usulan Wariasan Budaya Tak Benda 2021

Rapat persiapan usulan warisan budaya tak benda yang digelar di Museum Daerah Maros (Dok. Museum)

Menindaklanjuti surat Kementrian dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Perlindungan Kebudayaan No. 3014/F4/KB/2020, tentang Permintaan Usulan Penetapan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia Tahun 2021. Seperti tahun-tahun seblummnya Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Melaui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2021 ini akan mengajukan usulan tentang WBTB yang ada di Sulsel termasuk di Kabupaten Maros.

Sehubungan dengan hal tersebut, Dinas kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Maros mengundang Ahli Cagar budaya dan beberapa Ketua Dewan Adat yang ada di Maros dalam rapat guna membahas tentang Persiapan Usulan Warisan Buadaya Tak Benda yang ada di Maros untuk selanjutnta disusulkan ke pusat. Rapat tersebut berlangsung di ruang rapat Museum Daerah Maros, Kamis (7/1/2021).

Rapat yang dipimpin Kepala Bidang Kebudayaan Disbudpar Maros, Hj. Rosmiati, S.Sos dihadiri oleh Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Maros Drs. Muhammad Ramli, Ketua Lembaga Adat Kekaraengan Marusu A. Abd. Waris Tajuddin, Krg. Sioja, Anggotta Lembaga Adat Jariminassa Tanralili
Karaeng Lallo dan . Muh. Bakri, S.Pd.I, Pendiri Lembaga Rumah Kecapi serta pengrajin kecapi Yusri Yusuf, Budayawan Kaemba Kecamatan Marusu H. Dahlan, Budayawan dari Balla Lompoa Kampala Kecamatan Marusu Andi Basri, serta Praktisi Musik Tradisional Maros Rahmat, S.Pd., M.M.

Dari hasil rapat tersebut diadap beberapa usulan yakni:

  1. Karaeng Marusu mengusulkan Tradisi Katto Bokko menjadi Warisan Budaya Tak Benda.
  2. Ketua Dewan Adat Jariminassa mengusulkan pencucian benda pusaka Warisan Budaya Tak Benda.
  3. Ketua Dewan Adat Kampala mengusulkan benda Regalia kerajaan Marusu sebagai Warisan Budaya Tak Benda.
  4. Ketua Dewan Adat Kaemba mengusulkan pesta panen menumbuk padi (appadekko ase lolo) Warisan Budaya Tak Benda.
  5. Pendiri Lembaga Rumah Kecapi mengusulkan musik Kecapi Warisan Budaya Tak Benda.

Warisan Budaya Tak Benda atau Intangible Cultural Heritage bersifat tak dapat dipegang (intangible/ abstrak), seperti konsep dan teknologi. Sifatnya dapat berlalu dan hilang dalam waktu seiring perkembangan zaman seperti misalnya bahasa, musik, tari, upacara, serta berbagai perilaku terstruktur lain. Dapun Kriteria WBTB adalah sebagai berikut. (pl)

  1. Merupakan identitas budaya dari satu atau lebih Komunitas Budaya.
  2. Memiliki nilai-nilai budaya yang dapat meningkatkan kesadaran akan jati diri dan persatuan bangsa.
  3. Memiliki kekhasan/keunikan/langka dari suatu suku bangsa yang memperkuat jati diri bangsa Indonesia dan merupakan bagian dari komunitas.
  4. Merupakan living tradition dan memory collective yang berkaitan dengan pelestarian alam, lingkungan, dan berguna bagi manusia dan kehidupan.
  5. WBTB yang memberikan dampak sosial ekonomi, dan budaya (multiplier effect).
  6. Mendesak untuk dilestarikan (unsur/karya budaya dan pelaku) karena peristwa alam. Bencana alam, krisis sosial, krisis politik. dan krisis ekonomi.
  7. Menjadi sarana untuk pembangunan yang berkelanjutan dan menjadi penjamin untuk sustainable development.
  8. Keberadaannya terancam punah.
  9. WBTB diprioritaskan di wilayah perbatasan dengan negara lain.
  10. Rentan terhadap klaim WBTB oleh negara lain.
  11. Sudah diwariskan dari lebih dari satu generasi.
  12. Dimiliki seluas komunitas tertentu
  13. Tidak bertentangan dengan HAM dan konvensi-konvensi yang ada di dunia dan juga peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia.
  14. Mendukung keberagaman budaya dan lingkungan alam.
  15. Berkaitan dengan konteks.

Sejarah Bangunan Museum Daerah Kabupaten Maros

Kondisi bangunan Museum Daerah Maros saat ini (Dok. Museum)

Museum Daerah Maros terletak di Jalan Jenderal Ahmad Yani No. 1, Kelurahan Turikale, Kecamatan Turikale, Kabupaten Maros. Kondisi bangunan ini 90% merupakan bangunan asli dari masa kolonial dengan bentuk persegi yang memanjang ke belakang.

Bangunan Museum Daerah Maros berukuran 266 M² dan menempati lahan seluas 1.370 M². Bangunan ini terbuat dari bahan dasar batu bata yang diplester kapur dan pasir. Bagian lantai ditutupi tegel dan bagian atas ditutupi seng.

Awalnya bangunan ini meruakan Kantor Controler yang didirikan tahun 1835 oleh Belanda untuk kepentingan kolonial di Maros. Pasca Kemerdekaan bangunan ini silih berganti beralih fungsi, mulai dipergunakan sebagai Kantor Kepala Pemerintahan Negeri Maros, kemudian dijadikan sebagai Rumah Sakit Bersalin, lalu menjadi Kantor Bappeda Maros hingga dipergunakan sebagai Kantor Camat Turikale.

Saat ini, Pemerintah Kabupaten Maros telah menetapkan bangunan ini sebagai Cagar Budaya sehingga Bangunan Museum Daerah Maros ini juga merupakan salah satu koleksi yang dimiliki Museum Daerah Maros.

Struktur bangunan Lanraad Koleksi Museum Daerah Kabupaten Maros berupa struktur, yaitu seperti genteng, bata, dan plesteran bangunan Landraad. Berdasarkan arsip di Kantor Pengadilan Negeri Maros, bangunan kantor Landraad ini dibangun tahun 1918 yang berfungsi sebagai Kantor Pengadilan.

Kantor ini berbatasan dengan Jalan Jenderal Ahmad Yani di sebelah Selatan, barat berbatasan dengab Kantor Kejaksaan Negeri Maros, sebeleah timur berbatasan dengan jalan H.M Kasim, dan di sebelah Utara berbatasan dengan Rumah Dinas Hakim Ketua.

Batu Bata dari struktur bangunan Landraad yang dibangun tahun 1928 yang berfungsi sebagai Kantor Pengadila ini melekat pada struktur Tiang bangunan dengan Berat 300 gram, panjang 24 cm, tebal 5,5 cm dan Lebar : 11 cm. Selain itu ada juga Bata yang melekat pada struktur Dinding bangunan dengan berat 250 gram, panjang 12 cm, tebal 5,5 cm dan lebar 11cm.

Koleksi Arkeologi selanjutnya adalah Genteng yang digunakan sebagai atap bangunan dengan berat 300 gram, panjang 34 cm, tebal 1,7 cm dan lebar 27 cm. Koleksi terakhir yaitu plasteran yang melekat pada dinding Bangunan dengan Berat 1000 gram, tebal 2,5 cm, terdiri dari pasir, kapur dan Semen. (pl)