Arsip Tag: bantimurung

Disbudpar Maros Gelar Sosialisasi Museum ke Desa – Desa

Museum Daerah Maros – Bidang Kebudayaan Disbudpar Maros, melakukan sosialisasi museum ke 14 Desa yang tersebar di wilayah Kabupaten Maros, Sulawesi selatan.

Kegiatan ini bertujuan untuk memperkenalkan museum kepada masyarakat desa dan membangun sinergitas antara Pemerintah dan masyarakat dalam melestarikan kebudayaan.

Rabu pagi (07/04/21) Tim Museum Disbudpar Maros kembali melakukan sosialisasi museum kali ini di rumah adat kakaraengan balla lompoa yang diikuti puluhan masyarakat tentunya dengan penerapan protokol kesehatan covid-19.

Kepala Bidang Kebudayaan Andi Yuliana mengatakan sosialisasi museum ini dilakukan untuk melestarikan kebudayaan dan membangun sinergitas dengan masyarakat.

” Beberapa hari ini kita melakukan sosialisasi museum ke desa – desa yang ada di maros, dan pagi ini tim melakukan sosialisasi di rumah balla lompoa kakaraengan, tujuan dari kegiatan ini untuk memperkenalkan museum kepada masyarakat desa dan membangun sinergitas antara Pemerintah dan masyarakat dalam melestarikan kebudayaan.” Jelasnya.

Saat ini tim museum Disbudpar Maros telah mengunjungi 6 desa dalam kegiatan sosialisasi tersebut, dengan target kunjungan yaitu 14 desa.

” ini sudah lebih dari 6 desa yang kami kunjungi untuk mensosialisasikan museum daerah maros, kita membawa beberapa pemateri mereka mempresentasikan museum sebagai sarana pendidikan mengenai budaya masa lampau.” Ucap Kabid Kebudayaan Disbudpar Maros

Diharapkan melalui sosialisasi museum ini kedepannya jumlah kunjungan ke museum daerah dapat meningkat.

” Kita berharap setelah kegiatan ini jumlah pengunjung ke museum bisa meningkat.” Tambah Yuliana

Toakala dan Bisu Daeng Kisah Legenda Dari Maros

Saat melintas di jalan poros Camba-Bone, Sulawesi Selatan (Sulsel), kerap dijumpai kera Macaca maura dengan mudahnya di pinggir jalan. Warga yang melintas di sepanjang jalur itu kerap turun dari kendaraan dan memberi kera-kera itu makanan.

Macaca maura merupakan salah satu satwa endemik yang mulai terancam punah yang tepatnya berada di Desa Labuaja, Kecamatan Cenrana, Maros. Kera yang tak memiliki ekor ini memiliki kecerdasan lebih dibanding monyet lantaran otaknya jauh lebih kompleks.

Kera yang dalam bahasa lokal disebut dare itu punya legenda yang sampai saat ini masih dikisahkan oleh sebagian warga. Walau banyak versi, cerita itu memiliki banyak pesan moral, bahkan mitos yang tetap diyakini.

Dikisahkan, ada sebuah kerajaan kera yang berada di Kampung Abbo, Kelurahan Leang-leang, Kecamatan Bantimurung. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja bernama Toakala atau I Marakondang. Raja ini digambarkan sebagai sosok kera tinggi besar, berbulu putih, dan pintar berbicara layaknya manusia.

“Di Kampung Abbo itu ada beberapa reruntuhan batu yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Toakala. Selain itu, ada juga batu berbentuk ranjang yang konon itu tempat tidur I Marakondang,” kata seorang budayawan Maros, Lory Hendrajaya,

Toakala yang sangat senang berburu, pada suatu hari, berangkat ke hutan mencari rusa. Namun, saat di perjalanan, tepatnya di telaga Kassi Kebo, yang berada di atas air terjun Bantimurung, ia tak sengaja melihat seorang wanita yang sangat cantik tengah mandi di danau itu.

Wanita cantik itu rupanya seorang putri dari Kerajaan Pattiro bernama I Bissu Daeng. Sosoknya, putri ini memiliki kulit putih dengan rambut yang sangat panjang. Bahkan, untuk mengurai rambut panjangnya itu, dibutuhkan tujuh tiang jemuran. Hal itulah yang membuat Toakala mabuk cinta kepadanya.

Sepulang dari berburu itu, Toakala mengirim utusannya ke Kerajaan Pattiro dengan maksud meminang. Namun perasaan cintanya berubah menjadi kemurkaan, saat pihak Pattiro menolak dan bahkan mengolok-olok dirinya, tidak pantas memperistrikan Bissu Daeng yang jelita lantaran ia hanya seekor kera.

Ia pun akhirnya menculik Bissu Daeng ke kerajaannya. Namun, tidak berselang lama, Bissu Daeng diselamatkan oleh seekor ular sanca besar dan membawanya pulang ke Pattiro. Toakala pun kembali murka dan memerintahkan seluruh rakyatnya untuk bersiap menyerang Kerajaan Pattiro.

“Nama Pattiro itu adalah salah satu dusun di Desa Labuaja. Jaraknya dengan Abbo mungkin ada sekitar 10 km kalau kita tidak lewat jalan umum. Di Dusun Pattiro itu juga ada beberapa reruntuhan batu yang diyakini bekas kerajaan. Selain itu, ada batu seperti ular melilit, konon itu ular sanca yang selamatkan putri,” terang Lory.

Mendapat kabar akan diserang, nyali Raja Pattiro ciut dan mengatur siasat jahat. Ia mengutus panglimanya untuk bertemu dengan Raja Toakala. Ia berpesan agar Toakala datang melamar secara baik-baik dengan syarat, seluruh rakyatnya harus ikut tanpa terkecuali.

“Karena cintanya kepada Bissu Daeng, amarah Toakala pun luluh dan mengiyakan permintaan itu. Ia pun mengerahkan seluruh rakyat dan pasukannya datang ke Pattiro untuk melamar gadis pujaannya itu,” lanjut Lory.

Sebelumnya, Raja Pattiro sudah menyiapkan sebuah ruangan besar yang terbuat dari jerami yang direkatkan getah pinus. Saat rombongan datang, mereka pun disambut dengan kenduri oleh Raja Pattiro di dalam ruangan besar itu. Toakala dan rakyatnya sama sekali tak sadar bahwa semua itu hanya jebakan belaka.

Belum usai menyantap makanan kenduri, ruangan besar itu sengaja dibakar oleh pasukan Pattiro dari luar hingga seluruh rakyat Toakala terpanggang oleh api. Karena Toakala memiliki kesaktian, ia bersama satu ekor kera betina hitam yang tengah hamil berhasil lolos dari kobaran api itu.

Sembari berlari masuk hutan, kera hitam yang lolos itu menyeka api yang membakar hangus ekor dan pantatnya. Kera itulah yang kemudian beranak pinak menjadi Macaca maura. Sedangkan Toakala yang telah marah sekaligus merasa bersalah memilih mengasingkan diri.

“Kalau dalam cerita ini, itulah penyebabnya Macaca maura tidak memiliki ekor dan pantatnya tidak berbulu. Dikisahkan, Toakala akhirnya menyepi ke dalam gua. Nah makanya ada nama gua di Bantimurung itu gua Toakala, konon itu tempat bertapanya,” tutur Lory.

Patung Monyet di gerbang masuk Permandian alam Air terjun BAntimurung (ist)

Setelah peristiwa nahas itu, Bissu Daeng diliputi rasa bersalah. Ia menganggap kecantikannya menjadi malapetaka besar. Ia pun mengutuk seluruh keturunannya tidak lagi berwajah cantik seperti dirinya. Kutukan inilah yang menjadi mitos di dusun Pattiro, jika ada wanita yang lahir cantik, ia tidak akan berumur panjang.

(Sumber : DETIK.COM)