Arsip Penulis: themuseum

Lukisan Hewan Tertua Di Dunia Ditemukan Di Sulawesi Diyakini Berusi 45.500 Tahun

Arkeolog menemukan lukisan hewan tertua di dunia di dalam sebuah gua di Sulawesi, Indonesia.

Dilukis dengan pigmen merah tua dari tanah liat, gambar babi liar dengan ukuran sebenarnya itu tampaknya merupakan bagian dari sebuah adegan narasi.

Lukisan itu ditemukan di gua Leang Tedongnge, yang terletak di sebuah daerah perbukitan terpencil di Sulawesi Selatan.

Ia menjadi bukti tertua akan keberadaan permukiman manusia di wilayah tersebut.

“Orang-orang yang membuatnya sudah sangat modern, mereka seperti kita, mereka punya semua kapasitas dan alat untuk membuat lukisan apa pun yang mereka suka,” kata Maxime Aubert, salah satu penulis laporan yang diterbitkan di jurnal ilmiah Science Advances.

Sebagai spesialis penanggalan, Aubert mengidentifikasi endapan kalsit yang terbentuk di atas lukisan di Leang Tedongnge, dan menggunakan penanggalan isotop seri Uranium untuk menentukan usianya.

Ia menemukan bahwa usianya 45.500 tahun. Ini berarti prakarya tersebut setidaknya setua itu.

“Tapi bisa jadi lebih tua karena penanggalan yang kami lakukan hanya terhadap kalsit di atasnya,” imbuh Aubert.

Laporan di Science Advances mengatakan lukisan dengan panjang 136cm dan lebar 54cm itu menunjukkan seekor babi liar dengan tonjolan mirip tanduk di wajahnya, yang merupakan ciri kelompok jantan dari spesies tersebut.

Terdapat dua lukisan tangan di atas punggung si babi, yang juga tampaknya berhadapan dengan dua babi lainnya yang hanya terawetkan sebagian.

Penulis pembantu laporan tersebut, Adam Brumm, mengatakan, “Babi itu tampaknya sedang menyaksikan pertarungan atau interaksi sosial antara dua babi lainnya.”

Untuk membuat lukisan tangan, sang pelukis perlu menempatkan tangan mereka di permukaan sebelum menyemburkan pewarna ke atasnya, kata para peneliti. Mereka juga berharap dapat mengekstrak sampel DNA dari sisa air ludah.

Lukisan ini mungkin merupakan karya seni tertua yang menampilkan sosok, namun ia bukan karya seni tertua yang dibuat manusia.

Di Afrika Selatan, coret-coretan mirip tagar berusia 73.000 tahun yang lalu diyakini sebagai gambar tertua di dunia.

(Sumber : BBC INDONESIA)
(Sumber foto istimewa)

Lukisan Kayu Karya Pemuda Leang-leang : Pindahkan Relief Prasejarah ke Atas Jati

Museum MarosSeni lukis biasanya diekspresikan melalui media kanvas atau kertas. Namun tidak demikian yang dilakukan oleh sekelompok pemuda di area Kawasan Wisata Taman Prasejarah Leang-leang, Kelurahan Kallabirang, Kabupaten Maros.

Pergerakan pemuda yang dimotori Muslimin ini, memilih papan kayu jati dan tripleks sebagai media lukisan relief peninggalan prasejarah yang ditemukan di gua-gua sekitar Leang-leang.

Penggerak Forum Pemuda Kreatif Sampeang (FPKS), Muslimin menjelaskan, para pemuda di kampungnya diajari cara membuat lukisan bertemakan rock art. Karena lokasi mereka berada di Taman Prasejarah Leang-leang, maka mereka mengfokuskan diri untuk melukis beberapa temuan lukisan yang terdapat di dinding gua peninggalan manusia prasejarah. Lukisan yang mereka buat tersebut dilakukan dengan cara dibakar.

Muslimin mengaku, kegiatan melukis di atas kayu jati dan tripleks ini sudah digelutinya kurang lebih setahun. Diakuinya, lukisan dengan cara dibakar menggunakan kayu dan bahan solder bakar ini bukanlah yang pertama dilakukan di Indonesia.

gambar : admin (2)


Karena pada dasarnya mereka sendiri belajar dari berbagi sumber refrensi untuk ditonton. Hanya saja, apa yang mereka lukis tersebut bisa dikatakan tidak ada samanya dengan pelukis lainnya. Karena mereka mengusung tema lukisan penemuan peradaban manusia di masa lampau.

“Yang dilukis ini rock art sebuah gambar yang menyerupai Kawasan wisata prasejarah, makanya kita fokus dengan yang berbau rok art atau lukisan dinding gua. Awal mulanya sy terinspirasi dari berbagai lukisan yang d dinding gua prasejarah leang leang yang berusia ribuan tahun. Selain itu, keresahan teman-teman yang sering berkumpul yang ingin membuat sesuatu yang berkarya. Apalagi di masa pandemi ini, sama sekali tidak ada pemasukan. Makanya mereka belajar dengan cara otodidak untuk membuat lukisan bakar ini. Mereka yang berada di perkumpulan FPKS ini berjumlah sekitar 10 orang. Mereka mulai berkreasi membuat lukisan. Kami fokuskna di lukisan prasejarah yang berasal dari masa lampau,” jelasnya.

Muslimin mengatakan, untuk sebuah lukisan bakar dengan ukuran 30cm×20cm mampu diselesaikan dalam dua hari. Itu sudah termasuk membingkai lukisan dan siap dikirim ke tempat orang yang memasannya. “Kalau diseriusi, setiap lukisan itu bisa dikerjakan dalam dua hari saja sampai selesai. Termasuk membingkainya,” jelasnya.



Meski terbilang rumit dalam pengerjaannya, bukan berarti mereka mematok harga tinggi untuk sebuah lukisan bakar tersebut. Muslimin mengaku satu buah lukisan itu dihargai sekitar Rp150 ribu. Sementara itu, selama masa pandemi ini, mereka terpaksa hanya bisa mempromosikan lukisan bakarnya melalui sosial media. Pasalnya sejak awal pandemi, Taman Wisata Prasejarah Leang-leang belum dibuka untuk umum.

“Kedepannya kami berencana akan membuka galeri art di Taman Prasejarah Leang-leang. Namun karena adanya pandemi, jadi kami hanya bisa mempromosikan melalui sosial media,” jelasnya.

Sementara itu salah satu pecinta seni lukis Bakar, Alfi mengaku sangat menyukai hasil lukisan tersebut. Bahkan kesamaan lukisan tangan manusia purba di gua Leang-leang memiliki kesamaan dengan lukisan tersebut. Itulah yang membuat dirinya tertarik membeli salah satu lukisan yang dibuat pemuda Leang-leang.

Sumber : (Sindo)

Uniknya Tradisi Panen Raya Pesta adat Katto Bokko

Tradisi Katto Bokko alias pesta adat panen raya merupakan tradisi Masyarakat Maros yang sampai saat ini masih dilestarikan oleh sebagian warga setiap kali memasuki musim panen tiba.

Seperti halnya yang dilakukan oleh warga keturunan karaeng marusu dan masyarakat eks-wilayah pemerintahan Karaeng Marusu di Kecamatan Maros Baru, Kabupaten Maros, Sulawesi selatan.

Tradisi panen raya katto bokko ini terdiri atas 14 tahapan yang dilaksanakan keluarga kekaraengan (kerjaaan) dan masyarakat Maros sekali dalam setahun dengan tujuan meneguhkan silaturahim selain itu juga menunjukkan kebersamaan tanpa sekat antara bangsawan dan masyarakat.

Pada kegiatan Katto Bokko akan bertemu pemilik sawah, pekerja sawah dan pemuka adat. Mereka akan duduk bersama membahas masalah pertanian.

Tradisi panen perdana katto bokko akan dipimpin seorang pinati di lahan Kekaraengan Marusu. Panen padi jenis “ase banda” ini menggunakan alat tradisional, yakni anai-anai (pakkatto dalam bahasa setempat).

Biasanya pada pelaksanaan tradisi panen raya katto bokko pemerintah ikut andil melalui Dinas Pariwisata. (Admin)

Toakala dan Bisu Daeng Kisah Legenda Dari Maros

Saat melintas di jalan poros Camba-Bone, Sulawesi Selatan (Sulsel), kerap dijumpai kera Macaca maura dengan mudahnya di pinggir jalan. Warga yang melintas di sepanjang jalur itu kerap turun dari kendaraan dan memberi kera-kera itu makanan.

Macaca maura merupakan salah satu satwa endemik yang mulai terancam punah yang tepatnya berada di Desa Labuaja, Kecamatan Cenrana, Maros. Kera yang tak memiliki ekor ini memiliki kecerdasan lebih dibanding monyet lantaran otaknya jauh lebih kompleks.

Kera yang dalam bahasa lokal disebut dare itu punya legenda yang sampai saat ini masih dikisahkan oleh sebagian warga. Walau banyak versi, cerita itu memiliki banyak pesan moral, bahkan mitos yang tetap diyakini.

Dikisahkan, ada sebuah kerajaan kera yang berada di Kampung Abbo, Kelurahan Leang-leang, Kecamatan Bantimurung. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja bernama Toakala atau I Marakondang. Raja ini digambarkan sebagai sosok kera tinggi besar, berbulu putih, dan pintar berbicara layaknya manusia.

“Di Kampung Abbo itu ada beberapa reruntuhan batu yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Toakala. Selain itu, ada juga batu berbentuk ranjang yang konon itu tempat tidur I Marakondang,” kata seorang budayawan Maros, Lory Hendrajaya,

Toakala yang sangat senang berburu, pada suatu hari, berangkat ke hutan mencari rusa. Namun, saat di perjalanan, tepatnya di telaga Kassi Kebo, yang berada di atas air terjun Bantimurung, ia tak sengaja melihat seorang wanita yang sangat cantik tengah mandi di danau itu.

Wanita cantik itu rupanya seorang putri dari Kerajaan Pattiro bernama I Bissu Daeng. Sosoknya, putri ini memiliki kulit putih dengan rambut yang sangat panjang. Bahkan, untuk mengurai rambut panjangnya itu, dibutuhkan tujuh tiang jemuran. Hal itulah yang membuat Toakala mabuk cinta kepadanya.

Sepulang dari berburu itu, Toakala mengirim utusannya ke Kerajaan Pattiro dengan maksud meminang. Namun perasaan cintanya berubah menjadi kemurkaan, saat pihak Pattiro menolak dan bahkan mengolok-olok dirinya, tidak pantas memperistrikan Bissu Daeng yang jelita lantaran ia hanya seekor kera.

Ia pun akhirnya menculik Bissu Daeng ke kerajaannya. Namun, tidak berselang lama, Bissu Daeng diselamatkan oleh seekor ular sanca besar dan membawanya pulang ke Pattiro. Toakala pun kembali murka dan memerintahkan seluruh rakyatnya untuk bersiap menyerang Kerajaan Pattiro.

“Nama Pattiro itu adalah salah satu dusun di Desa Labuaja. Jaraknya dengan Abbo mungkin ada sekitar 10 km kalau kita tidak lewat jalan umum. Di Dusun Pattiro itu juga ada beberapa reruntuhan batu yang diyakini bekas kerajaan. Selain itu, ada batu seperti ular melilit, konon itu ular sanca yang selamatkan putri,” terang Lory.

Mendapat kabar akan diserang, nyali Raja Pattiro ciut dan mengatur siasat jahat. Ia mengutus panglimanya untuk bertemu dengan Raja Toakala. Ia berpesan agar Toakala datang melamar secara baik-baik dengan syarat, seluruh rakyatnya harus ikut tanpa terkecuali.

“Karena cintanya kepada Bissu Daeng, amarah Toakala pun luluh dan mengiyakan permintaan itu. Ia pun mengerahkan seluruh rakyat dan pasukannya datang ke Pattiro untuk melamar gadis pujaannya itu,” lanjut Lory.

Sebelumnya, Raja Pattiro sudah menyiapkan sebuah ruangan besar yang terbuat dari jerami yang direkatkan getah pinus. Saat rombongan datang, mereka pun disambut dengan kenduri oleh Raja Pattiro di dalam ruangan besar itu. Toakala dan rakyatnya sama sekali tak sadar bahwa semua itu hanya jebakan belaka.

Belum usai menyantap makanan kenduri, ruangan besar itu sengaja dibakar oleh pasukan Pattiro dari luar hingga seluruh rakyat Toakala terpanggang oleh api. Karena Toakala memiliki kesaktian, ia bersama satu ekor kera betina hitam yang tengah hamil berhasil lolos dari kobaran api itu.

Sembari berlari masuk hutan, kera hitam yang lolos itu menyeka api yang membakar hangus ekor dan pantatnya. Kera itulah yang kemudian beranak pinak menjadi Macaca maura. Sedangkan Toakala yang telah marah sekaligus merasa bersalah memilih mengasingkan diri.

“Kalau dalam cerita ini, itulah penyebabnya Macaca maura tidak memiliki ekor dan pantatnya tidak berbulu. Dikisahkan, Toakala akhirnya menyepi ke dalam gua. Nah makanya ada nama gua di Bantimurung itu gua Toakala, konon itu tempat bertapanya,” tutur Lory.

Patung Monyet di gerbang masuk Permandian alam Air terjun BAntimurung (ist)

Setelah peristiwa nahas itu, Bissu Daeng diliputi rasa bersalah. Ia menganggap kecantikannya menjadi malapetaka besar. Ia pun mengutuk seluruh keturunannya tidak lagi berwajah cantik seperti dirinya. Kutukan inilah yang menjadi mitos di dusun Pattiro, jika ada wanita yang lahir cantik, ia tidak akan berumur panjang.

(Sumber : DETIK.COM)

Tradisi Angkat Rumah Suku Bugis Yang Masih Dilestarikan

MAROS MUSEUM – Ada cara unik dari Suku Bugis di Sulawesi Selatan jika ingin pindah rumah. Bukan seperti yang Momopal pikirkan, pindah rumah berarti rumah baru dengan arsitektur baru dan yang lainnya. Suku Bugis yang pindah rumah akan tetap dengan rumah yang sama, rumah yang mereka tempati akan pindah ke rumah baru. Hanya suasananya saja yang berbeda, tetapi semuanya sama. Mengapa seperti itu?

Rumah bagi Suku Bugis berarti tanah ibu pertiwi bagi mereka, rumah berarti tanah warisan yang harus dijaga. Jadi, jika seorang warga Suku Bugis ingin pindah rumah berarti harus memindahkan satu rumah utuh ke tempat yang baru. Rumah masyarakat Suku Bugis terbuat dari kayu yang berbentuk panggung, itulah sebabnya mengapa masyarakat Suku Bugis dapat memindahkan rumahnya.

Rumah Suku Bugis berbentuk seperti rumah panggung dan di dalamnya terdapat tiga tingkatan. Pertama Dunia Atas (Botting Langi), dahulu dijadikan sebagai tempat untuk menaruh padi hasil panen. Kedua Dunia Tengah (Ale-Kawa), tempat ini untuk melakukan aktivitas yang punya rumah, layaknya rumah biasa terdapat kamar tidur, dapur, dan lain sebagainya. Terakhir Dunia Bawah (Awa Bola), dahulu digunakan untuk menaruh hewan peliharan, namun saat ini lebih sering digunakan untuk menaruh kendaraan.

Ada dua cara untuk memindahkan rumah Suku Bugis, yaitu dengan didorong dan diangkat. Jika pindahnya dekat maka hanya dengan didorong, baik ke depan, ke belakang, menyamping atau menyerong. Tetap jika jarak pindah rumah cukup jauh, sudah dipastikan rumah tersebut harus diangkat dengan bantuan oleh masyarakat sekitar.

Hal pertama yang dilakukan ketika pindah rumah adalah mengeluarkan barang-barang yang mudah pecah dan mudah bergerak, seperti piring, gelas, dan barang-barang elektronik lainnya. Namun, barang-barang berat seperti lemari, tempat tidur dan sebagainya yang akan merepotkan jika dikeluarkan, maka akan tetap dipertahankan di dalam rumah selama tidak berpengaruh signifikan terhadap berat rumah ketika akan diangkat atau didorong. Agar tidak jatuh ke lantai yang terbuat dari kayu, barang-barang tersebut dirapatkan ke tiang-tiang rumah yang terbuat dari kayu lalu diikat.

Jika rumah dipindahkan dengan cara didorong, maka ban dibelakang dipindahkan kedepan secara kontinyu agar tidak terputus. Ban tersebut di bentuk dari kayu hitam yang kuat. Ban diapit oleh dua buah papan, papan pertama menyentuh tanah dan papan kedua menyentuh kayu-kayu yang menjadi tiang. Tentu roda ban yang diperlukan membutuhkan jumlah yang banyak, tergantung luas rumah tersebut.

Sedangkan jika memindahkan rumah dengan diangkat, ditiang-tiang rumah harus dipasang bambu. Tingginya dari tanah sekitar 1,7 meter, bambu-bambu itulah yang nantinya menjadi tempat pegangan untuk mengangkat rumah.

Acara pemindahan rumah ini dipimpin oleh seorang ketua adat. Profesor layanan penulisan https://buyessayfriend.com/ mengklaim itu tidak sembarangan memindahkan rumah, karena masyarakat Suku Bugis harus ekstra kerja sama untuk memindahkan rumah tersebut, menyamakan irama langkah kaki agar dapat berjalan beriringan. Oleh karenanya, pindah rumah dijadikan ajang gotong royong oleh Suku Bugis

Namun, semakin berkembangnya zaman, sulit ditemukan masyarakat Suku Bugis yang memindahkan rumahnya dengan cara diangkat atau didorong. Hal itu karena masyarakat Suku Bugis kini memiliki rumah yang cukup besar dan dari kayu yang sangat kuat dan kokoh, sehingga akan sangat sulit jika harus dipindahkan. Tetapi tidak menutup kemungkinan jika Momopal berkunjung ke Sulawesi Selatan akan menemukan masyarakat asli Suku Bugis yang sedang memindahkan rumahnya.

Sumber : (momotrip jurnal)

Allanja, Balianja, Dan Mappadendang, Tradisi Langka Yang Masih Digelar Di Tompo Bulu Maros

Di Kecamatan Tompo Bulu, Kabupaten Maros, tidak hanya potensi alamnya yang menjadi daya tarik untuk wisatawan. Kecamatan di ujung Kabupaten Maros ini yang dikenal dengan puluhan air terjunnya yang cantikn ternyata tersimpan kekayaan budaya yang masih terus dilestarikan oleh masyarakatnya.

Seperti ritual tahunan yang dilaksanakan oleh Masyarakat di Dusu Bara, Desa Bontomanurung. Mereka mengadakan ritual persembahan makanan kepada leluhur. Makanan berupa seokor ayam kampung utuh dan songkolo (beras ketan), ada juga kapur dan sirih yang dibawa ke makam leluhur kemudia didoakan.

Seorang tetuah adat mendoakan makanan untuk dipersembahkan kepada leluhur masyarakat Tompo Bulu

Daeng Nimba salah satu tetuah adat di Dusun Baru mengatakan, ritual ini merupakan pesan leluhur masyarakat Tompo Bulu yang berkata, “jika nanti sehabis panen maka datanglah ke sini (ke makamnya) dan berdoalah. Doamu akan saya teruskan ke sang pencipta,”.

Daeng Nimba melanjutkan, setiap keluarga akan memgantarkan satu paket persembahan makanan berupa seekor ayam kampung, kapur sirih, dan songkolo sebagai bentuk rasa syukur mereka terhadap hasil panen yang mereka peroleh. Setelah didoakan, makanan tersebut akan dibagikan kembali untuk dimakan bermai-ramai oleh penduduk kampung.

Ritual adat kemudian dilanjutkan dengan gelaran “Allanja” yaitu adu betis antara pemuda. Hal ini dilakukan dengan saling menendang betis secara bergantian. Prosesi ini merupakan bentuk adu kekuatan diantara pemuda pengikut Karaeng Laiya dan Kareeng Baru, yang merupakan leluhur masyarat Bontomanurung.

Dahulu kala dijelaskan, Karaeng Laiya dan Karaeng Baru datang kedaerah ini untuk saling mengadu murid. Muridnya saling menendang betis secara bergantian. Adu betis ini biasanya berlangsung dari pagi sampai sore hari. Namun dulu pergelangan kaki para murid ini diapakaikan taji dari besi.

Rangkaian ritual kemudian dilanjutkan dengan Balianja, diawali dengan persembahan sesajen makanan dan lantunan doa, dari sang tetuah adat diikuti dewan dewan adat kampung. Ritual ini merupakan penggambaran upaya penduduk kampung dalam menghalau orang jahat yang berniat masuk dan merusak daerahnya.

Di tempat ini dewan adat berkumpul untuk menyelesaikan sebuah masalah. Diawali dengan adegan kejar-kejaran menggunakan obor, kemudian salah seorang pemuda menghalau pengejar dengan menggunakan badik. Itu menandakan orang jahat yang akan masuk le sini akan kami halau dan kami larang.

Dahulu ritual ini bertujuan untuk menyelesaikan sebuah masalah, dimana dewan adat kampung berkumpul untuk membicarakannya

Tak berhenti di situ, puncak rangkaian ritual adat ini masih berlanjut di malam hari dengan prosesi “Adengka Ase Lolo”. Padi muda yang barusaja dipanen ditumbuk dengan alu kemudian dinikmati bersama gula merah dan parutan kelapa muda (pal). 

Tim Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Maros, melakukan pemantauan ke Liang Panning (02/02/21)

Situs Prasejarah Liang Panning, Surga Tersembunyi di Pelosok Maros

Liang Panning merupakan salah satu situs Gua Prasejarah yang terletak di Dusun Langi’ Desa Wannuawaru, Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Gua ini menjadi salah satu bukti peradaban manusia Prasejarah yang pernah menghuni wilayah Maros ribuan tahun silam.

Tenaga ahli Cagar Budaya (TACB) Disbudpar Maros, Yusriadi Arief mengatakan sejarah penemuan Liang panning ini sudah dikenal oleh masyarakat Mallawa sejak masa penjajahan. Meskipun sudah dikenal luas oleh masyarakat Mallawa namun khusus untuk kegiatan penelitian baru dimulai pada awal 90an.

Berdasarkan penelitian dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya beserta Balai Arkeologi, ditemukan berupa alat batu, juga sisa sisa makanan seperti cangkang kerang atau molusca yang mengindikasikan gua ini telah dihuni oleh manusia prasejarah sejak 7000 tahun yang lalu. Salah satu potensi yang Penting juga hasil penelitian di Liang ini ditemukan kerangka manusia yang telah berumur 4000 tahun yang lalu.

Selain itu situs Liang panning ini menjadi penting khususnya untuk mempelajari bagaimana interaksi manusia dimasa prasejarah dengan adanya kontak dua Kebudayaan antara budaya toala dengan manusia yang menggunakan bahasa astronesia

Sementara oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini disbudpar ditahun 2019 berdasarkan potensi yang dimiliki oleh keputusan bupati ditetapkan menjadii situs cagar budaya. Rencananya akan dilakukan pengembangan sebagai objek wisata situs cagar budaya dengan peringkat Kabupaten. (pl)

Artefak Kapak Batu

Kapak Batu

Dari segi umur dan cara buat, koleksi artefak batu di Museum Daerah Maros yang dikumpulkan dari situs-situs prasejarah di Kabupaten Maros dapat dibagi menjadi dua bagian besar. Pertama adalah artefak batu serpih yang sebagian besar diperoleh dari gua-gua prasejarah yang berumur antara 4.000 tahun lalu hingga 10.000 tahun lalu yang dikategorikan sebagai hasil budaya Jaman Praneolitik. Kedua adalah artefak batu yang sebagian besar diperoleh dari situs-situs terbuka di kawasan Mallawa, berumur antara 2.000 tahun lalu hingga 4.000 tahun lalu yang dikategorikan sebagai Jaman Neolitik.

Secara umum, koleksi artefak batu serpih Museum Daerah Maros tergolong dalam fase budaya Praneolitik Maros. Artefak batu serpih Maros dibuat oleh para penghuni gua yang populer disebut sebagai komunitas Toala. Istilah ini diperkenalkan oleh Paul dan Fritz Sarasin dalam bukunya yang berjudul Reisen in Celebes (1905). Teknologi artefak batu serpih Toala merupakan satu-satunya inovasi teknologi alat batu di Asia Tenggara. Inovasi teknologi alat batu Toala terekspresikan pada alat batu yang spesifik bentuk dan fungsinya, seperti mata panah bergerigi (Maros point) dan mikrolit (microlith). Mata panah bergerigi dan artefak batu serpih Toala lainnya jelas menggambarkan fungsinya sebagai alat perburuan dan pengolah makanan. Tempat penemuan artefak batu serpih adalah di dalam gua dalam jumlah puluhan ribu, menggambarkan lamanya aktivitas hunian di dalam gua-gua pegunungan kapur Maros.

Maros point dan mikrolit dibuat dengan teknik yang sangat cermat dan detail dengan frekuensi peretusan yang tinggi. Teknologi alat batu Toala biasa disejajarkan dengan teknologi alat batu Levallois yang berkembang di Eropa pada masa yang sama. Maros point dan mikrolit jelas menggambarkan kemampuan teknik tinggi yang perencanaannya berawal dari bongkahan batu inti bulat. Bahan Maros point dan mikrolit adalah dari jenis batuan chert atau biasa juga disebut batu rijang. Jenis batuan ini dipilih karena mengandung silika (unsur kaca) yang tinggi sehingga mudah dibentuk dan menghasilkan alat batu yang tajam. Batuan rijang banyak dijumpai di dataran banjir sungai pada kawasan batu kapur Maros Pangkep (Duli & Nur, 2016). Secara garis besar, teknik yang digunakan komunitas Toala dalam membuat alat batu adalah teknik penyerpihan dan belum memperlihatkan indikasi pengasahan alat.

Koleksi artefak batu Museum Daerah Maros yang tergolong dari jaman Neolitik adalah kapak dan beliung. Semua koleksi kapak dan beliung Museum Daerah Maros berasal dari beberapa situs di Kecamatan Mallawa, seperti situs Bulu Bakung, Situs Bulu Tana Ugi dan Situs Bulu Uttangnge. Kapak dan beliung batu yang diperoleh dari situs-situs terbuka di Mallawa dibuat dengan menggunakan teknik penyerpihan pada tahap pembentukan dan menggunakan teknik pengasahan untuk memperoleh tajaman alat dan bentuk yang ideal pada tahap kedua. Perbedaan kapak dan beliung terletak pada bentuk bagian tajaman. Bentuk tajaman kapak adalah setangkup dengan bidang yang sama antara sisi kiri dan kanan, sedangkan bentuk tajaman beliung miring pada satu sisi tajaman saja atau menyerupai tajaman pahat. Berdasarkan informasi etnografis, kapak dan beliung sama-sama memakai gagang atau tangkai ketika digunakan. Posisi mata kapak pada gagangnya adalah sejajar sedangkan posisi mata beliung pada gagangnya adalah memotong 90 derajat.

Dari studi etnografi, fungsi kapak dan beliung dapat digunakan untuk mengolah kayu atau menebang pohon yang berukuran lingkar sekitar 50 cm. Jika dibandingkan dengan fungsi alat batu serpih dari jaman Praneolitik, terlihat bahwa penggunaan alat serpih jauh berbeda dengan penggunaan kapak dan beliung dari Jaman Neolitik. Kajian fungsi kapak dan beliung menggambarkan aktivitas yang berhubungan dengan pengolahan lahan pertanian seperti penebangan pohon untuk pembukaan lahan baru atau pengolahan batang pohon untuk dijadikan sebagai bahan rumah tinggal. Lokasi penemuan kapak dan beliung di Mallawa pada situs-situs padang terbuka merupakan bukti bahwa aktivitas hunian pada bentang lahan pertanian dimulai pada Jaman Neolitik. Analisis umur dari situs-situs dimana kapak dan beliung Mallawa diperoleh adalah antara 3.580 ±130 BP dan 2.710 ±170 BP (Bulbeck, 1996-1997; Simanjuntak, 2008) hingga 2.281 ± 46 BP (Hakim et al., 2009:45). Informasi penting terkait temuan kapak dan beliung dari Mallawa adalah ditemukan bersama fragmen tembikar dalam jumlah ribuan. Data tersebut menguatkan asumsi tentang fungsi situs-situs terbuka di Mallawa sebagai situs hunian Jaman Neolitik. Walaupun belum ditemukan bukti tulang manusia tetapi berdasarkan kajian regional, jenis manusia yang bermukim di situs-situs Neolitik Mallawa adalah ras Mongoloid yang menuturkan Bahasa Austronesia. Meskipun masih bersifat hipotetik, kuat dugaan bahwa manusia penghuni Situs Neolitik Mallawa merupakan leluhur langsung manusia penghuni Pulau Sulawesi sekarang, terutama Sulawesi Selatan.

Sejarah Fragmen Gerabah

Fragmen Gerabah

Indonesia telah mengenal gerabah sejak masa bercocok tanam (neolitik), masa perundagian, masa Hindu-Budha, masa Islam, hingga masa sekarang. Bukti penggunaan gerabah di Indonesia dari masa neolitik terekam pada Situs-Situs Arkeologi di Indonesia. Peneliti memperkirakan gerabah mulai dikenal 2.500-1.500 tahun sebelum masehi, ketika tradisi bercocok tanam mulai muncul dan kebutuhan akan tempat penyimpanan mulai dirasakan penting. Penggunaan gerabah kemudian terus berlanjut hingga masa sesudahnya.

Gerabah merupakan merupakan istilah yang lebih umum digunakan di Indonesia untuk merujuk pada tembikar (earthenware) atau barang-barang yang terbuat dari tanah liat bakar. Gerabah adalah temuan penting untuk mengindikasikan permukiman masa lampau dan menggambarkan berbagai aspek kehidupan manusia untuk hidupnya sehari-hari, seperti tempat menyimpan makanan (baik dalam bentuk cair maupun padat), alat mengolah makanan, maupun keperluan lainnya. Pada perkembangannya gerabah tidak hanya memiliki fungsi kebutuhan keseharian tetapi juga fungsi religius. Wadah-wadah gerabah ditemukan di beberapa situs prasejarah sebagai tempat meletakkan jenasah atau tulang manusia pada sistem kubur tempayan. Beberapa gerabah juga ditemukan sebagai tempat untuk menyimpan bekal kubur. Teknik pembuatan gerabah yang dikenal sangatlah sederhana, yaitu dengan teknik tangan. Museum of London berusaha merekonstruksi teknik pembuatan gerabah berbentuk wadah pot pada masa prasejarah.

Pada masa perundagian, teknik pembuatan gerabah mengalami perkembangan dengan menggunakan teknik tatap pelandas dan roda putar lambat. Bentuk wadah yang banyak ditemukan pada masa prasejarah adalah tempayan, periuk, cawan. Gerabah yang ditemukan tersebut melambangkan cara hidup manusia pada masa itu.

Gerabah adalah salah satu benda hasil budaya yang seringkali ditemukan di berbagai situs arkeologi, baik dalam kegiatan survei maupun ekskavasi sebagai data arkeologi, termasuk pada salah satu situs di Sulawesi Selatan, yaitu Situs Neolitik Mallawa.

Situs Neolitik Mallawa terletak pada perbatasan dua kabupaten, yaitu Kabupaten Maros wilayah Desa Sabila Kecamatan Mallawa di sisi utara hingga barat dan Kabupaten Bone wilayah Desa Poleonro Kecamatan Libureng di sisi selatan hingga timur. Situs ini memiliki temuan yang bervariasi seperti alat batu berbagai bentuk dan fragmen gerabah.

Museum Daerah Maros memiliki koleksi fragmen gerabah yang berasal dari situs Neolitik Mallawa berjumlah 11 pecahan, yang dikelompokkan dalam koleksi arkeologi. Pecahan tersebut memang sedikit menyulitkan untuk dianalisis dari sisi bentuk, teknologi, dan konteks secara langsung dengan situs dan lingkungannya. Oleh karena itu, diperlukan kajian koleksi mendalam tentang berbagai jenis fragmen tersebut. Namun secara umum informasi terkait Situs Neolitik Mallawa telah ada sejak tahun 1994.

Banyak penelitian, baik ilmiah maupun terapan, yang dilakukan oleh lembaga pemerintah seperti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan, Balai Arkeologi Makassar, dan sebagainya. Selain penelitian untuk kepentingan riset dan pelestarian, Situs Neolitik Mallawa juga menjadi objek penelitian oleh mahasiswa jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin.

Adapun temuan Situs Neolitik Mallawa, berdasarkan hasil survey penyelamatan lanjutan Situs Neolitik Mallawa tahun 2012 dan 2013 oleh Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan adalah sebagai berikut:

  1. Alat batu. Hasil survey penyelamatan tahun 2012, Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan menemukan 1818 buah alat batu berupa alat serpih, kapak, beliung, batu inti, tatap pelandas, batu ike, dan batu asah.
  2. Gerabah. Hasil survey penyelamatan tahun 2012 dan 2013, Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan menemukan 559 fragmen gerabah berukuran kecil hingga sedang, berjumlah 559 buah. Motif hiasnya seperti garis (lurus, tegak, miring dan zig zag), lingkaran—bahkan ada yang sampai tembus dan tumpal. Bagian gerabah yang ditemukan seperti penutup, tepian, bibir, leher, badan, pegangan, kaki dan dasar. Kondisi permukaan terlihat beberapa diantaranya memiliki glasir dan patina. Sebaran fragmen gerabah hanya ditemukan di bagian utara dan selatan lereng serta di puncak Bulu Bakung. Fragmen gerabah yang dimiliki oleh Museum Daerah Maros hampir serupa dengan temuan fragmen gerabah yang diinventaris oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan.

Berdasarkan hasil penelitian Balai Arkeologi Makassar di Situs Neolitik Mallawa tahun 2017 diindikasikan bahwa situs ini padat huni dikarenakan temuan berlimpah dan relatif dekat dengan gua-gua di Maros. Temuan kapak dan pahat batu yang sudah diupam serta gerabah merupakan indikasi kuat tentang hunian para kelompok penutur Austronesia di wilayah Sulawesi Selatan. Teknologi pembuatan dan pemakaian wadah gerabah yang diperkenalkan oleh kelompok penutur Austronesia, dihubungkan dengan dimulainya tradisi bercocok tanam dan domestikasi hewan.

Peneliti dari Balai Arkeologi melakukan observasi dan ekskavasi pada Situs Neolitik Mallawa dan menemukan batu pelandas yang pada umumnya digunakan sebagai alat untuk meratakan dan membentuk badan dalam proses pembuatan gerabah. Batu pelandas ditemukan pada kotak ekskavasi bersama dengan fragmen gerabah pada kedalaman 60 cm hingga 130 cm. Pada kedalaman 130cm ditemukan gerabah berslip merah.

Hasil analisis mineral terhadap kandungan mineral tanah pada kotak ekskavasi, sama dengan kandungan mineral yang terkandung dalam gerabah. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tembikar tersebut dibuat dan diproduksi di sekitar wilayah Mallawa. Temuan kapak batu, beliung, manik-manik dan fragmen tembikar semakin menegaskan karakter situs Mallawa sebagai situs permukiman neolitik yang penting di wilayah timur Indonesia.

Cangkang molusca

Molusca adalah kelompok hewan terbesar kedua setelah filum artrhopoda, yang diperkirakan mencapai 100.000 jenis (spesies) yang dibedakan atas 5 kelas yaitu: Polyplacophora, Pelecypoda (Bivalvia), Gastropoda, Scaphopoda, dan Cephalopoda. Hewan dari filum ini adalah termasuk hewan yang tidak bertulang belakang (invertebrata) dengan tubuh lunak, umumnya bercangkang, serta memiliki system reproduksi internal (kelamin ganda/hermaprodit), memiliki habitat hidup di darat dan di air. Karena termasuk dalam hewan bertubuh lunak dan tidak memiliki tulang belakang, maka umumnya kelompok ini memiliki cangkang atau kulit keras untuk melindungi diri, seperti pada kelas Scaphopoda, gastropoda (siput), dan pelecypoda/bivalvia (kerang), sedangkan untuk kelas cephalopoda memiliki cankang dalam sebagai pengganti tulang belakang.

Memiliki tingkat adaptasi yang tinggi, hewan ini hampir menghuni seluruh jenis habitat di darat seperti gua, hutan, padang, hingga gurun, sedangkan di air dapat beradaptasi dengan air tawar, payau dan air asin. Pada lingkungan alam yang sehat, molusca dapat berkembang biak dengan baik dengan reproduksi yang melimpah karena kemampuan beradaptasinya. Diketahui pula bahwa berbagai jenis molusca tersebut mengandung nutrisi yang cukup tinggi, terutama protein dan mineral. Kemampuan adaptasi ini karena system pelindungan tubuh yang menggunakan cangkang atau mantel yang keras. Cangkang ini tersusun atas bahan kapur (kalsium karbonat) yang bersifat keras hingga mampu bertahan lama sampai ribuan tahun.

Karena bernutrisi tinggi, maka secara alamiah manusia prasejarah telah memanfaatkan jenis hewan ini sebagai makanan, dan cangkangnya yang keras digunakan sebagai peralatan hidup sehari-hari, dan bahkan dimanfaatkan pula sebagai perhiasan. Hasil-hasil penelitian arkeologi di kawasan karst Maros Pangkep membuktikan bahwa peran molusca atau kerang-kerangan sangat menentukan perkembangan kebudayaan sejak masa prasejarah, setidaknya 40.000 tahun yang lalu. Sebagian besar temuan cangkang atau kulit-kulit kerang baik yang setangkup maupun siput atau keong, ditemukan sebagai sisa-sisa makanan. Kulit-kulit kerang yang menumpuk di gua-gua terbukti sebagai sampah dapur, setelah daging molusca dimakan, kulitnya dibuang. Konsumsi kerang-kerangan dalam waktu yang lama atau oleh kelompok manusia menghasilkan tumpukan kerang hingga menjadi lapisan tersendiri dalam pelapisan tanah di dalam atau di sekitar gua. Sebagian karena lama penumpukan dan pengendapannya membentuk lapisan menyerupai kongkresi cangkang dengan lapisan kapur sebagai pengikatnya. Selain itu, dibuktikan pula bahwa cangkang kerang (bivalvia) digunakan oleh manusia prasejarah sebagai peralatan hidup, terutama cangkang kerang yang ditajamkan untuk dipakai sebagai alat memotong atau mengiris. Dalam beberapa kasus, juga cangkang-cangkang molusca dimodifikasi menjadi perhiasan, sebagai mata kalung, gelang, dan lain-lain. Dari cangkang-cangkang tersebut, para arkeolog juga dapat mengetahui pola hidup manusia dalam mengumpulkan makanan, selain berburu. Mereka mengumpulkan molusca dari sungai atau rawa, muara sungai, lingkungan bakau, laguna, dan di lingkungan pantai. Mereka bekerja secara sendiri-sendiri ataupun berkelompok, dan diduga lebih banyak dilakukan oleh kaum perempuan.

Gambar : Artefak cangkang molusca /koleksi museum daerah maros